"Dulu waktu booming gelombang cinta, ada yang sampai jual motor apa mobil. Besoknya daunnya ditumis sama istrinya. Suaminya disuruh makan. Terus minta cerai. Sekarang ngga ada harganya...." kata bapak itu seraya terkekeh begitu mendengar harga pohon tin Matsui Dauphine yang relatif masih mahal. Setidaknya jauh lebih mahal dari pohon singkong yang sama-sama bisa tumbuh dengan ditancap.
Argumen yang sama dan berulang tentang booming gelombang cinta dan batu akik selalu jadi peringatan bagi penghobi tin.
Sah-sah saja.
Perlu juga didengarkan bagi yang mengejar varian untuk koleksi.
Hukum pasar berlaku. Semakin banyak stok, harga akan semakin turun.
Saya sih asyik-asyik saja harga turun, biar cepat punya yang belang-belang :-)
Lalu kalau harga turun apakah dunia perentinan akan lesu?
Masih sangat panjang dunia tin di Indonesia. Ketika Turki sudah panen ribuan kg per hari, kita 1 kg per kebun per hari pun belum. Sementara jumlah kebun tin masih sangat sedikit. Kita baru jualan bibit. Kalau pasar bibit lesu, peluang akan bergeser ke buah dan daun. Selepas itu baru produk turunan semacam selai, tin kering, sirup, dsb. Gelombang cinta, batu akik, produk turunannya apa?
Deuh...
Kalau sudah begini jadi terpikir kuliah di jurusan pertanian.
Biar ada varian tin baru dari Indonesiah.
Biar kelak bisa menikmati masa tua di kampung seraya memandang buah kurma milik sendiri yang tengah dipanen.
Dan ketika ada orang bertanya tentang profesi akan dijawab dengan penuh kebanggaan,"PETANI."
0 komentar:
Posting Komentar