Berjualan ala Hamzah




Hamzah berjualan.
Mendadak dia minta dibelikan chocolatos, yupi, richeese, nutrisari, dan entah apa lagi. Buat dijual di sekolah.

Uminya cuma mengiyakan seraya bertanya,"Temannya ada yang sudah jualan?"
"Ada. Mbak A jualan B, C, dan D."
"Kalau begitu Hamzah jualannya E, F, sama G."
Deal! Dan berangkatlah uminya ke agen sembako.

Hari pertama berjualan, Hamzah pulang dengan senyum lebar. Dagangannya habis.
Saya ikut tersenyum.
Ikut senang.
Bukan masalah keuntungan. Tapi lebih ke kemandirian... juga keberanian. Betapa itu terbawa hingga ke rumah.
Kalau ada tamu orangtuanya yang dia kenal, tanpa ragu akan dia tawari.
"Mau yupi, atau momogi?"
He... he....


Hari kedua dia masih tersenyum. Campur bingung dan geli. Uang hasil jualan kok lebih sedikit dari hari pertama. Padahal penjualan kurang lebih sama.
Hmmm....
Saatnya belajar bahwa hasil kadang tak semanis ekspektasi. Bisa karena masalah intern, sering pula dari eksternal. Dicurangi misalnya....

Siang ini di hari ketiga senyumnya kembali lebar. Dompetnya penuh recehan. Sibuk menghitung hasil penjualan, mendadak dia ingat sesuatu. "Botol minumnya ketinggalan....

Duh....
Sudah 2 botol tupperware seharga 100 ribuan yang hilang di sekolah. Ini mungkin jadi yang ketiga.

Uminya langsung memberi ceramah gratis. Saya hanya diam.
Wajar uminya ngomel. Setidaknya untuk mengingatkan bahwa berjualan bagus, tapi tidak boleh membuat lalai. Apalagi melupakan tugas utamanya.

"Jadi bagaimana? Mau dipotong saja? Sekali potong 10 ribu?"

Saya tahu uminya cuma menggertak. 1 box jajanan terjual, keuntungan Hamzah paling 1 - 3 ribu. Mana tega dia...

Hamzah cuma menunduk.
Entah takut, sedih, atau pura-pura....
Dan saya berkata dalam hati,"Proud of you, son!"


Bapak Penjual Tahu yang Membuat Saya Malu


Alhamdulillah bertemu Bapak ini di panasnya Cikarang yang berdebu.
Bapak yang pernah membuat saya menangis.
Beberapa bulan yang lalu. Atau setahun yang lalu, mungkin....
Malam itu menjelang Isya, jalanan Teleng rusak parah.
Saya harus fokus ke jalan dan kendaraan di depan yang tersendat layaknya siput. Lubang jalanan sebagian tertutup air, sisanya licin tertimpa gerimis.
Terlihat sebuah gerobak pelan menyusuri jalan. Sangat pelan. Yang mendorong adalah seorang bapak dengan tangan kiri. Tangan kanannya memegang kruk sebagai tumpuan pengganti kaki kanan yang bengkok.
Ingin berhenti saat itu juga, tapi pasti akan jadi sumber kemacetan baru.
Terlepas dari jalan rusak saya menunggu di depan RS Amanda. Bermenit-menit kemudian bapak itu baru sampai. Dari tempat berjarak sekitar 100 meter.
Dagangannya masih banyak. Risol, tahu, bacang, dsb masih menumpuk di gerobak. Sementara malam telah tiba.
Setelah membeli dan berbasa-basi sejenak, saya tanyakan tentang kakinya.
"Ditabrak angkot," jawabnya.
"Waktu itu boncengan berdua sama istri. Istri juga patah kakinya. Tidak berobat, tidak ada biaya..."
"Kenapa tidak mangkal saja, pak... jualannya?"
"Tidak punya tempat mangkal. Rejeki saya dari muter. Saya syukuri. Kaki saya sudah lama tidak sembuh. Saya pasrah. Saya berusaha ikhlas..."
Bapak itu menjawab dengan tersenyum. Senyum yang getir.
Saya hanya bisa termangu. Antara sedih, kagum, dan malu.
Mata saya mendadak panas, hingga terasa ada yang menggenang.
Menetes bersama air hujan...

Sekelumit Kisah Dibalik Matsui Dauphine


"Dulu waktu booming gelombang cinta, ada yang sampai jual motor apa mobil. Besoknya daunnya ditumis sama istrinya. Suaminya disuruh makan. Terus minta cerai. Sekarang ngga ada harganya...." kata bapak itu seraya terkekeh begitu mendengar harga pohon tin Matsui Dauphine yang relatif masih mahal. Setidaknya jauh lebih mahal dari pohon singkong yang sama-sama bisa tumbuh dengan ditancap.
Argumen yang sama dan berulang tentang booming gelombang cinta dan batu akik selalu jadi peringatan bagi penghobi tin.
Sah-sah saja.
Perlu juga didengarkan bagi yang mengejar varian untuk koleksi.
Hukum pasar berlaku. Semakin banyak stok, harga akan semakin turun.
Saya sih asyik-asyik saja harga turun, biar cepat punya yang belang-belang :-)
Lalu kalau harga turun apakah dunia perentinan akan lesu?
Masih sangat panjang dunia tin di Indonesia. Ketika Turki sudah panen ribuan kg per hari, kita 1 kg per kebun per hari pun belum. Sementara jumlah kebun tin masih sangat sedikit. Kita baru jualan bibit. Kalau pasar bibit lesu, peluang akan bergeser ke buah dan daun. Selepas itu baru produk turunan semacam selai, tin kering, sirup, dsb. Gelombang cinta, batu akik, produk turunannya apa?
Deuh...
Kalau sudah begini jadi terpikir kuliah di jurusan pertanian.
Biar ada varian tin baru dari Indonesiah.
Biar kelak bisa menikmati masa tua di kampung seraya memandang buah kurma milik sendiri yang tengah dipanen.
Dan ketika ada orang bertanya tentang profesi  akan dijawab dengan penuh kebanggaan,"PETANI."

Yang Tersisa dari Lebaran 2016

Yang tersisa dari lebaran, Cikarang 12 hari ditinggal mudik.
1. Pisang ampyang/kreak berbuah. Sebentar lagi bisa menikmati sayur jantung pisang. Yummy...
2. Kelengkeng tersisa 2 biji. Petik aja wis, daripada gak kebagian. Manisss....
3. Tin segar bugar, tidak ada yang wafat. Terima kasih tetangga yang ikhlas menyiram.
4. Tin yellow cikarang mulai keluar pentil buah. Semoga bisa matang, biar jelas identitasmu, nak... Yellow cikarang? Apa maneh iki? Ya... dari seller di Cikarang bilangnya cuma tin kuning. Harga juga lumayan mahal. 35 ribu. Hiks....
5. Kabel mesin cuci putus digigit siti.
6. 9 dari 10 bibit jambu kristal meninggal dengan tenang.
7. 1 pohon cabe panen prematur karena layu. Biar masih kuning, Alhamdulillah pedesss....
8. Datang dengan dompet tipis. Sementara tagihan listrik, PAM, jemputan, sekolah sudah menanti. Sebenarnya alasan saja, sih. Dari sebelum mudik juga memang sudah tipis.
9. Perut membuncit, timbunan lemak, dan tabungan kolesterol tentu saja.
10. Curhat teman yang tidak bisa berbagi oleh-oleh karena dimakan sendiri di jalan akibat kelamaan macet.
11. Cerita tetangga yang 3x isi bbm @10 liter seharga 50 ribu. Dia menghabiskan 1.5 juta hanya untuk bahan bakar melintasi kota bernama Brebes. Dia bercerita sambil tertawa. Tawa yang getir....

Telat?
Ra pa pa.
Toh saya balik Cikarang juga memang telat.

Mertua dan Virus Hijau

Awal punya rumah, saya terobsesi dengan tanaman.
Meski tak tahu nama, khasiat, jenis,... kalau suka ya tanam.
Pagar bukan tembok, kayu, atau bambu. Tapi teh-tehan ala pagar hidup di kampung.
Kanopi terbentuk dari rimbunnya daun anggur. Entah anggur apa. Buahnya asyeeeem....
Suatu ketika mertua yang asli gaul datang ke rumah dan berkomentar,"Ini rumah apa hutan?"
He... he....
Sampai tiba pada satu masa dimana kebutuhan akan ruang memaksa saya membersihkan semua tanaman itu.
Meski tanpa berderai air mata, rasanya tetap sedih. Hikss...
Sementara di negeri Tambun sana mungkin mertua tengah tersenyum menikmati kemenangan.
Lepas pembersihan itu, perlahan beberapa tanaman dihidupkan lagi.
Memanfaatkan lahan yang terbatas, yang penting ada hijau-hijau.
Siang ini mertua datang ke Cikarang. Membawa batang tanaman degan daun menyembul keluar dari koran yang membungkus.
"Singkong jepang. Ambil dari Bogor. Tanam di sini ya...."
Hahay...!!!

Tin Kisut Pasca Banjir Surut

Asyik tertidur di depan TV yang berubah fungsi jadi radio karena tidak keluar gambar, tiba-tiba kaki terasa menyentuh air.
Hmmm... siapa nih yang lupa beresin gelas? Tumpah deh....
Tapi kok banyak?
Menggenang....

Waaaa....!!! Banjir!!!
Air rembes dari ruang tamu dan kamar yang masih belum diuruk.
Jadilah.... tengah malam gobrak gabruk mindahin barang ke belakang.

Dan terjadi lagi....
Kisah rumit yang terulang kembali...
Padahal tidak rumit amat sebenarnya. Tinggal uruk 2 ruang itu, dan beres. Tapi perselingkuhan  dengan si entin menarik dana yang lumayan juga ternyata. Jadi merasa bersalah dengan istri dan anak....

Rumah ini dulu pernah mau saya jual, buat tambahan modal. Ibarat memanah, busur ditarik ke belakang dulu untuk menambah laju anak panah.
Ketika disampaikan ke Bapak, beliau mengiyakan. Tapi dengan syarat, mesti punya rumah baru dulu.

Lha ini. Jual rumah buat tambah modal kok mesti punya rumah dulu. Kalau buat beli rumah, ga ada tambahan modal dong?

Tapi demi bakti dan agar tidak menambah beban pikiran orang tua, kami sami' na wa atho'na. Dan tidak pernah menyesali keputusan ini.
Pasang surut usaha tidak terlalu merisaukan. Toh kami masih punya rumah.  Begitu sederhananya.

Setengah 6 pagi banjir mulai surut. Beres-beres, ngepel, antar anak sekolah done.
Tinggal nyapu jalanan yang menyisakan sebagian sampah.
Sekalian ngecek selingkuhan.
Alhamdulillah, meski kebanjiran masih sempat berbagi.
Dengan semut...
Si entin kisut....

Guru, Murid, Orangtua, dan Pendidikan

Seorang guru SMK berdarah-darah dibogem orang tua murid. Karena hal 'sepele', ditegur akibat tidak mengerjakan tugas. Entah cerita lengkapnya seperti apa, yang jelas bapaknya tidak terima. Datang ke sekolah, dan... begitulah.
Terhenyak saya....
Terbayang kalau saya yang jadi murid.
Lapor orangtua karena ditegur. Berani saya pastikan orang tua tidak akan membela. Bahkan akan ada tambahan kuliah dadakan tentang kewajiban dari mulut beliau yang tak pernah kuliah.
Lapor karena ada hukuman fisik?
Ah... tak pernah saya terima hukuman fisik. Tapi kalaupun terjadi, perkiraan saya akan keluar wejangan tentang memuliakan guru.
Betapa kami belum ada apa-apanya dalam menghormati mereka.
Lalu akan mengalir cerita guru-guru bapak kami yang datang dengan sepeda kumbang. Begitu sampai gerbang sekolah, murid-muridnya sudah menyerbu, berebut mencium tangan dan menuntun sepedanya dengan takzim.
Terbayang pula sosok bernama Mbah Nur. Mengajar kami hafalan dan a ba ta tsa di kamarnya.
Ikhlas, tanpa bayaran, tanpa mengeluh...
Ketika kami yang tak pintar bolak-balik salah, beliau hanya tertawa.
Semoga menjadi amal jariyah nggih, mbah....
Waktu terus berputar. Generasi pun berganti. Teman dan adik-adik kami menyambung tongkat estafet menjadi guru. Kemuliaan dan penghormatan itu tertanam terus di dada kami.
Sayup terdengar gumaman Kirey.
Pagiku celah, matahali belsinal
Kugendong tas melahku dipundak
Guluku telsayang
Guluku telcinta
Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis, mengelti banyak hal
........

Di Balik Si Entin


Kacang panjang, cabe, lidah buaya, jambu, belimbing, gac... semua saya tanam.
Menanam itu bagi saya  buat senang-senang.
Senang ketika kotiledon pecah
Senang ketika tunas baru bermunculan
Lalu kenapa belakangan banyakan porsi buat tin?
Keterbatasan lahan saja sebenarnya.
Saya jadi harus selektif memilih yang tidak terlalu makan tempat, unik, bermanfaat, etc.
Dan tin ternyata memenuhi semua itu hingga kesenangannya bertambah.
Senang saat ada orang bertanya,"Tanaman apa itu, mas?"
Senang ketika tahu ternyata manfaatnya banyak buat kesehatan. Segambreng!
Senang saat memetik buahnya yang berlainan bentuk, warna, ukuran tiap jenisnya.
Senang saat ada yang membawa pulang daunnya dan datang lagi seraya berkata,"Badan saya lebih seger...."
Peluang nih...
He... he....

> Bukannya mahal dan beresiko ya, nanam tin? Fresh cangkok akar gondrong saja masih banyak mati pas repotting, meski konon sudah bergelar master?
Memang. Tapi jauh lebih mahal impor sendiri dari luar negeri. Jauh lebih beresiko juga.
> Tanganmu kan dingin. Makanya pada subur.
Tanaman itu gak butuh tangan dingin. Yang dia butuhkan media yang tepat dan nutrisi yang cukup
> Tapi tanganku panas.
Rendam di es batu kalau mau dingin.
>Tapi....
Stop! Cukup mengumpulkan alasan. Jangan sampai si entin bilang," Rangga, yang kamu lakukan pada saya itu... JA HAT!"

.
.
.
.
>> dialog imajiner sambil nikmatin pala pusing dan idung meler <<

Suatu Senja di Jalanan Cibitung

Ba'da maghrib di Kalimalang, jembatan 2 Jatimulya. Macet parah. Tiap ruas jalan dipenuhi kendaraan yang mengambil jalur hingga sisi paling kanan. Krodit di perempatan. Akhirnya mobil-mobil hanya bisa parkir. Motor merayap, lebih pelan dari orang berjalan, membelah jalan berlumpur.

Hmmm...
Seperti ini Brebes lebaran lalu. Jangan-jangan bukan salah tol, pemerintah, atau Brebes. Jangan-jangan memang kami yang belum siap punya tol baru....

Gagal menembus blokade perempatan, saya belok kiri ambil arah ke Tambun.
Lancar...
Mulai tersendat menjelang Pasar Induk Cibitung.

Mendadak ada anak muda belasan tahun berboncengan menyalip motor langsung potong jalur ambil sisi kiri. Pengendara motor yang dipotong jalurnya terkejut, spontan menyalakan klakson.
Rupanya si anak muda tidak terima diklakson. Mereka berhenti, buka helm, pasang wajah sangar, mencari arah suara klakson.

Mendadak teringat kejadian serupa sekitar setahun yang lalu. Saya spontan memencet klakson ketika ada anak muda belasan tahun mendadak masuk ke jalan, langsung lawan arah dengan kecepatan tinggi di Pilar. Tidak terima dengan suara klakson saya, mereka menghampiri, buka helm. Lalu keluarlah makian, segala anjing, babi dalam deretan kalimat panjang yang tersusun rapi dan terucap begitu fasih. Saya hanya bisa terpana. Shock, takjub, spechless....

Pasar induk tidak terlalu macet. Hanya terhalang 1 bus untuk sampai pintu keluar pasar induk ketika terlihat beberapa orang memukuli mobil silver tepat di depan bus. Beberapa pembonceng motor di belakang saya berloncatan dari motor, lari ke atah mobil silver dengan tangan mengepal.

Duh....
Betapa kami begitu mudah meledak. Padahal masalahnya apa, saya yakin mereka juga belum paham.
Lepas pasar induk, mobil silver tidak kelihatan. Hanya ada bemper warna silver dipegang beberapa orang yang berkerumun, lalu sigap naik motor dengan kecepatan tinggi... menyisakan kami yang melaju pelan dengan waswas di jalur kiri.

Sampai Polsek Cibitung terlihat mobil silver terparkir di halaman. Belasan polisi berjaga. Sebagian mengatur lalu lintas yang menjadi macet akibat orang-orang yang penasaran.
Wajah-wajah keras yang tadi melaju kencang tampak di dekat pintu Polsek.
100 meteran selepas Polsek Cibitung, bergerombol orang-orang berbadan tegap. Di tangan mereka ada golok, celurit, samurai....

Oh ya.... Ada yang terlewat.
Entah kebetulan atau tidak, listrik di Pasar Induk padam. Kerlip lampu kendaraan, lilin, dan lampu emergency tidak mampu menyembunyikan gelap yang meraja....
Segelap hati kami....