Seorang guru SMK berdarah-darah dibogem orang tua murid. Karena hal 'sepele', ditegur akibat tidak mengerjakan tugas. Entah cerita lengkapnya seperti apa, yang jelas bapaknya tidak terima. Datang ke sekolah, dan... begitulah.
Terhenyak saya....
Terbayang kalau saya yang jadi murid.
Lapor orangtua karena ditegur. Berani saya pastikan orang tua tidak akan membela. Bahkan akan ada tambahan kuliah dadakan tentang kewajiban dari mulut beliau yang tak pernah kuliah.
Lapor karena ada hukuman fisik?
Ah... tak pernah saya terima hukuman fisik. Tapi kalaupun terjadi, perkiraan saya akan keluar wejangan tentang memuliakan guru.
Betapa kami belum ada apa-apanya dalam menghormati mereka.
Lalu akan mengalir cerita guru-guru bapak kami yang datang dengan sepeda kumbang. Begitu sampai gerbang sekolah, murid-muridnya sudah menyerbu, berebut mencium tangan dan menuntun sepedanya dengan takzim.
Terbayang pula sosok bernama Mbah Nur. Mengajar kami hafalan dan a ba ta tsa di kamarnya.
Ikhlas, tanpa bayaran, tanpa mengeluh...
Ketika kami yang tak pintar bolak-balik salah, beliau hanya tertawa.
Semoga menjadi amal jariyah nggih, mbah....
Waktu terus berputar. Generasi pun berganti. Teman dan adik-adik kami menyambung tongkat estafet menjadi guru. Kemuliaan dan penghormatan itu tertanam terus di dada kami.
Sayup terdengar gumaman Kirey.
Pagiku celah, matahali belsinal
Kugendong tas melahku dipundak
Guluku telsayang
Guluku telcinta
Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis, mengelti banyak hal
........
0 komentar:
Posting Komentar