Cikarang-Setu Suatu Hari

Orang tua datang dari Jawa, sekarang ada di Setu.

Itu berita yang saya peroleh.

Kontak sana-sini akhirnya sepakat untuk kumpul-kumpul di sana pada hari Minggu.
Kendaraan andalan apalagi kalau bukan si Trekko Flash hitam.
Baru juga lepas terminal Cikarang, begitu sampi taman di dekat PT Hitachi tiba-tiba ban kempes.

Didorong ternyata luar biasa beratnya dalam kondisi mati. Pas lihat ke belakang, ngenes rasanya. Istri setia mengikuti dengan menggendong anak. Mana pas lagi panas-panasnya….

Akhirnya dibantu tenaga mesin, dengan terseok-seok setelah melewati beberapa ‘stand’ coca cola pinggir jalan, sampai juga di tukang tambal ban.
Melepas lelah sembari menunggu ban dibongkar, istri berbisik,”Tadi ibu-ibu yang jualan coca cola bilang suruh nunggu di sana saja. Nanti bapaknya suruh balik lagi. Lain kali jangan jalan di pinggir….”

“????....”

Tak lama ketahuan penyebabnya paku berukuran sekitar 5 cm. Ban dalam yang memang kualitasnya pas-pasan sobek memanjang dan harus diganti. Repotnya lagi si tukang tamban ban tidak menyediakan ban dalam vespa.

Terpaksa harus berburu ban dalam vespa yang ternyata memang agak susah, apalagi banyak toko yang tutup di hari Minggu. Tanya ke beberapa toko dan bengkel, akhirnya dapat juga setelah mutar-muter lebih 1 km dari bengkel.

Begitu balik ke bengkel sudah ada 1 lagi ‘pasien’ motor Suzuki.

“Kena paku juga,” istri berbisik lagi. “Tadi ada mobil juga kena paku, tapi dia langsung ganti ban cadangan sendiri.”

Sekitar setengah jam kemudian, ban dalam selesai diganti. Perjalanan pun dilanjutkan. Tak lupa mengucap terima kasih kepada penambal ban. Terima kasih berbalut suudhon….

Dan Baju Koko Itu Pun Ditanggalkan Teroris (Sebuah Unek-Unek)

Entah siapa namanya. Tapi ada yang menarik tiap kali pengamen itu naik jemputan.
Pertama kali melihat, waktu itu dia berdua dengan seorang perempuan bejilbab. Adiknya mungkin....
Hari-hari selanjutnya dia selalu sendirian dengan gitar bolongnya.

Suaranya cukup bagus, tidak seperti pengamen kebanyakan yang tetap pede dengan suara pas-pasan, bahkan kadang sember demi mengejar setoran.
Bila pengamen lain penampilan tidak terlalu diperhatikan, dia konsisten dengan baju kok dan peci melingkar di kepala.
Lagu yang yang dibawakannya pun selalu berbeda dengan teman-temannya satu komunitas. Yang paling sering adalah nasyid, terutama lagu dari Opick. Kadang lagu balada milik Ebiet G Ade.

Semakin sering berinteraksi meski sekedar dari tatapan, terasa ada ikatan di antara kami. Ketika teman lain naik jemputan dari pintu depan, kadang saya lihat pintu belakang dibukakan, diiringi dengan senyumnya dan ucapan," Assalamu'alaikum... A'."

Biasanya dia naik dari SGC, kemudian turun di Pasir Gombong-Jababeka setelah membawakan 2-3 buah lagu. Tapi pagi ini dia naik dari daerah Sempu.

"Tumben naik dari sini?"

Senyumnya mengembang dulu sebelum menjawab, "Habis naik jemputan Mattel, A'... Penglaris."

Ada yang berbeda dari penampilannya. Baju kokonya! Ya... hari ini dia tidak mengenakan baju koko, tapi kaos kuning berpadu dengan warna biru.

"Hari-hari ini sedang rawan, A'. Gara-gara teroris saya terpaksa tidak pakai baju koko dulu."

Saya terhenyak.

Begitu besarnya pengaruh 'sang teroris' dalam kehidupan. Bukan hanya non muslim yang ketakutan, bahkan muslim yang menunjukkan 'identitasnya' pun menjadi khawatir.

Teringat saya akan cerita teman yang bercelana ngatung. Dia kontraktor, ... alias masih belum punya rumah. Beberapa waktu terakhir dia merasa tidak tenang. Tiap kali pulang kerja dia merasa ada yang menmbuntuti. Selidik punya selidik, ternyata yang mengikuti adalah Pak RT.

"Disyukuri saja," hibur teman saya. "Anggap saja orang penting, kemana saja harus dikawal."

Kembali ke sang pengamen.

"Apalagi kejadian kemarin ada yang di Bekasi," lanjutnya lirih. "Makanya sekarang banyak polisi di sepanjang jalan. Om saya juga mengingatkan biar tidak pakai yang macam-macam dulu."

Saya mengangguk-angguk. Miris rasanya, ketika atribut-atribut ke-Islaman diidentikkan dengan terorisme.

"Kontributor seperti saya jadi muter-muter terus sepanjang hari. Pagi kaya gini (ngamen-red), sekitar jam 10 ke Pemda, cari berita. Apalagi pas kemarin, tiap hari ke Jati Asih, nanya-nanya informasi ke penduduk sekitar."

Agak surprise juga saya. Sang pengamen adalah kontributor berita. Majalah atau koran apa?

Seolah mengerti ketakjuban saya, dia melanjutkan,"Iya... saya kontributor Rakyat Merdeka."

"Kontributor tetap atau free lance"

"Free lance."

Obrolan kami terhenti ketika dia memutus pembicaraan untuk mengamen dulu.

Sementara dia menyanyikan lagu-lagu Nasyid yang entah karya siapa, bermacam pertanyaan terhadap aksi penangkapan 'Noordin' di Temanggung menyeruak di kepala.

Apakah benar dia otak segala aksi pengeboman?

Apakah benar dia yang tertembak?

Kenapa 'konon' tidak ada bercak darah?

Kenapa drama 18 jam harus diakhiri dengan penembakan?

Kenapa tidak ditangkap hidup-hidup?

Bagaimana dengan rumah yang berantakan dan tidak bisa ditinggali lagi? Siapa yang haris bertanggung jawab?

Benarkah Jamaah Islamiyah ada? Kenapa strukturnya berdasarkan pengakuan 'mantan anggota' satu dengan yang lain selalu berbeda?

Kenapa selalu Islam yang disebut teroris?

Kenapa tiap kali ada pemboman, nama Abu Bakar Ba'asyir selalu disebut-sebut?

Apakah karena Dr. Azahari dan Noordin M Top pernah nyantri di Lukamnul Hakim?

Bukankah mereka juga pernah belajar di barat sana?

Bukankah Abu Bakar Ba'asyir pernah berkata bahwa tangannya belum pernah memegang bom?

Bukankah Abu Bakar Ba'asyir juga pernah menyatakan bahwa mestinya pengeboman dilakukan d daerah konflik?

Bukankah pengeboman juga memakan korban muslim?

Bukankah niat baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula?



Ah, entahlah....

Semua terasa janggal di otak saya yang sama sekali tidak pintar.

Yang jelas akibat pemboman, bukan hanya non muslim yang terintimidasi. Muslim dicurigai, bahkan oleh sesama muslim.

Gerak langkah serasa dibatasi labirin yang tak terlihat, namun terasa begitu kuat.

Kekhawatiran melanda semua level, mulai dari presiden hingga rakyat kecil seperti kami.

Termasuk sang pengamen ....