Syifa ....

Lebaran menyisakan lembaran rupiah di tangan Syifa

"Abi jangan kerja, ya," katanya.

"Nggak, kok. Abi kan masih libur."

"Kalau sudah nggak libur juga jangan kerja,"

"Kan abi harus cari uang."

"Abi kan cari uang buat kakak, sekarang kakak sudah punya uang."

"Terus buat bayar listrik?"

"Pakai uang kakak saja."

"Buat bayar rumah?"

"Pakai uang kakak."

"Nggak cukup...."

Lama dia terdiam sebelum kemudian berkata,"Kakak ngantuk."

Dalam lelapnya saya mencium pipinya seraya berjanji suatu saat akan bekerja dari rumah.

Samber Colok

Salah satu kearifan orang Jawa adalah 'doktrin' agar tidak keluar di waktu Maghrib. Untuk tujuan selain ibadah tentunya.

Saya sebut 'doktrin' karena banyak kebiasaan itu dilakukan dan ditanamkan tanpa penjelasan logis. Kalau ditanya alasannya kenapa, jawabannya klise, "Ora ilok!"

Atau dalam bahasa umum: pamali!

Kembali ke larangan keluar ketika Maghrib.

Beberapa waktu lalu ketika pulang kerja dengan mengendarai si trekko flash hitam selepas Maghrib, terasa banyak serangga kecil beterbangan di jalanan. Satu hal yang hampir tidak pernah saya temukan semenjak tinggal di Bekasi.

Kami di Jawa dulu menyebutnya sebagai samber colok. Sesuai dengan namanya, binatang ini beterbangan seperti tanpa aturan, melanggar apa pun yang ada di dekatnya. Tak jarang serangga ini melanggar mata pengendara sepeda atau motor. Akibatnya mata terasa seperti dicolok, sakit, merah, hingga mengeluarkan air mata.

Uniknya binatang ini tidak keluar disembarang waktu. Hanya menjelang hingga selepas Maghrib.

Teringat kembali saya akan 'doktrin' itu. Kalau secara umum masyarakat Jawa pedesaan hanya beralasan 'ora ilok', dalam perspektif lain larangan itu bisa dilihat sebagai sesuatu yang nyunnah.

Bekerja, mencari nafkah sudah dialokasikan waktunya pagi hingga petang. Ketika waktu Maghrib tiba, stop! Waktunya untuk istirahat, melaksanakan shalat sebagai kewajiban, beribadah sebaik-baiknya. Sisi ruhiyah perlu diisi untuk menciptakan keseimbangan.

Barangkali karena itu lah Allah menciptakan samber colok, agar mencolok mata orang-orang yang masih bertebaran di muka bumi meski waktu Maghrib telah tiba.

"Ah, tidak juga, " begitu kata para manusia yang masih bertebaran. "Samber colok itu hanya makhluk kecil tak berdaya. Yang diserang hanya mata. Dia akan rontok bila kita pakai helm full face. Apalagi mobil...."

Maka seperti itulah syariat. Bagi yang berupaya menjalankannya, makhluk kecil bernama samber colok akan dijadikan sebagai sentilan. Tapi bagi yang tidak ingin melaksanakan, terlalu banyak alasan bisa dibuat untuk mengingkari.

Wallahu A'lam

Rumah yang Bagus

Umi tadi jemurin pakaian, Advent bilang,”Nasywa rumah kamu jelek, rumah aku dong bagus.” Terus kakak nanya,”Emang rumah kakak jelek ya, Mi? Kan bagus, ya?” Umi kaya ditusuk jarum.

Begitu bunyi SMS dari rumah di tengah kesibukan closing akhir tahun.

Langsung pikiran tertuju ke rumah, rumah Advent, dan rumah tetangga. Memang kalau dibandingkan dengan tetangga yang lain, rumah kami relatif kurang bagus. Dapur baru tertutup setengah dengan asbes yang salah satunya sudah pecah tertimpa bola voli. Itu pun dengan bilik yang sudah bolong di sana-sini sehingga membuat tikus-tikus bahagia mempunyai jalanan lebih longgar untuk berseliweran. Akhirnya demi keamanan, ruang depan yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, ruang nonton TV, dan ruang les ditambah fungsinya menjadi ruang penyimpanan barang juga. Kerupuk, madu, herbal, makanan kecil, semuanya dipindahkan ke depan. Akibatnya ruangan depan yang sudah mungil serasa menyempit.

Halaman depan pun tak jauh beda. Masih tak berubah bentuknya seperti ketika pertama kali kami membeli rumah itu melalui fasilitas KPR BTN. Untuk mengurangi kesan gersang, beberapa bunga kami tanam di halaman. Mahkota dewa, kaktus, aglonema, sansiviera, anggrek, dan sebagainya. Untuk membuat suasana terasa lebih hijau, kami buat pagar hidup dengan tanaman teh-tehan. Multi fungsi, selain karena mudah dibentuk, bisa pula dipakai sebagai tempat menjemur kasur yang sering bau pesing akibat terkena ompol Nasywa dan Rayyan.

Sayangnya belakangan ini pertumbuhan tanaman-tanaman tersebut seolah beradu lari dengan sprinter kelas dunia bernama rumput. Kesibukan di tiga bulan terakhir membuat tanaman kami terlantar. Bentuk teh-tehan yang tidak beraturan lebih mirip tanaman liar dibandingkan pagar hidup.

Menengok ke belakang rumah, ketidakteraturan lebih jelas terlihat. Awalnya banyak tanaman di sana. Mulai dari cabe, talas, singkong, pepaya, pisang, mangga, katuk…. Petaka bagi tanaman-tanaman itu dimulai ketika tanah kosong di belakang rumah yang tadinya direncanakan sebagai taman diusulkan diubah fungsi menjadi lapangan voli. Karena di blok kami tidak ada lapangan olahraga, secara aklamasi usulan itu diterima.

Awalnya tidak terlalu terasa efeknya. Selang 2-3 minggu langsung terlihat beberapa dahan cabe patah terkena bola. Pohon pepaya pun sama. Tak mau hal itu berlanjut, pagar bambu yang tadinya ada di depan kami pindahkan ke belakang. Entah karena memang sudah lapuk atau tenaga bapak-bapak yang memang sangat kuat, pagar itu jebol oleh terjangan bola. Dan tidak hanya bola, kambing pun jadi bebas masuk ke pekarangan belakang.

Kami menyerah. Sekarang tidak ada lagi pohon cabe, pohon pisang, pohon pepaya…
Hanya tersisa pohon mangga, beberapa singkong, dan katuk di antara alang-alang dan rumput yang semakin tinggi.

Duh….

Kasihan Nasywa. Saya yang tidak mampu menyediakan tempat tinggal yang nyaman, dia yang harus menerima ejekan dari temannya.

Tapi tidak! Ini bukan masalah bagus atau tidak. Masalahnya mampu atau tidak kami mensyukuri semua nikmat Allah. Salah satunya tempat tinggal. Apalagi hanya karena celotehan seorang berumur 4 tahun yang kadang tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya?

Fabiayyi ala i Rabbikuma tukadzdzibaan....

Mestinya kami bersyukur. Masih banyak orang yang hidup di kolong jembatan atau mengontrak untuk tempat tinggalnya. Ada pula yang menyewa tanah di pinggir kali untuk membangun rumah seadanya.

Ah… itu dia! Segera tersusun sebuah rencana. Nanti sore saya akan ajak Nasywa jalan-jalan. Di sekeliling tanah pengairan tidak jauh dari rumah kami, berdiri gubuk-gubuk yang didirikan oleh orang-orang kurang beruntung yang tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Meski masih kecil, mudah-mudahan Nasywa bisa lebih memahami makna bersyukur dengan pergi ke sana.

Sayang, rencana tinggal rencana. Menjelang jam pulang kerja hujan turun dengan deras. Selain terpaksa membatalkan rencana pergi ke tanah pengairan, tubuh ini dihadiahi pusing dan dingin akibat terkena hujan.

Selepas makan malam saya merebahkan badan di ruang depan. Istri bercanda dengan anak-anak.

Suatu saat ada percakapan mereka yang membuat saya menajamkan pendengaran.

“Kakak..., emang tadi Advent bilang rumah kakak jelek?”

“Iya….”

“Terus kakak jawab apa?”

“Tadi kata Advent rumah kakak jelek. Padahal kan nggak ya, Mi? Rumah kakak bagus. Rumah Advent bagus. Rumah orang-orang bagus. Semuanya bagus….”

Terasa ada yang menghangat di hati ini. Tanpa perlu saya ajari, ternyata Nasywa sudah mampu memahami makna syukur. Jauh lebih baik dari pemahaman saya yang masih mengaitkan syukur dengan teori perbandingan.

Terima kasih Allah….


Cikarang, 30 Desember 2009