Ini adalah salah satu foto favorit saya meski  mungkin tidak proporsional, apalagi  indah.
Dulu ketika kecil saya sering dilarang hujan-hujanan.
Padahal hujan-hujanan itu mengasyikkan.
Makanya meski dilarang, saya nekad. Selepas main hujan di SD pulangnya lewat pintu belakang. Seolah dengan begitu orang tua tidak tahu kalau anaknya habis hujan-hujanan :-)
Agak gede sedikit, naik sepeda sampai perbatasan Kebumen dengan teman.  Pulangnya hujan.  Bukannya berteduh, kami asyik pulang hujan-hujanan.
SLTA sama.  Ketika pulang main, tiba-tiba  hujan.  Dipinjami payung.  Sebagai orang Jawa yang menghormati niat baik, payung diterima.  Sampai jaln besar, payung dilipat.  Hujan-hujanan lagi.
Di Bekasi salah satu yang paling berkesan ketika konvoi boncengan motor  ke Bandung.  Sepanjang jalan hujan.  Badan menggigil.  Sampai tujuan jadi hangat ketika disajikan makanan dengan menu pete bakar  :-)
Lupakan sejenak ketakutan akan banjir.
Biarkan anak keluar, mengekspresikan jiiwa, dan menikmati tiap tetesan air dengan segala barokahnya....

Sinetron Operasi Tangkap Tangan Korupsi



Sore kemarin terjadi Operasi Tangkap Tangan di Kementerian Perhubungan.

Sama sekali tidak mengherankan sebenarnya. Sudah jadi rahasia umum kok, kalau pelayanan publik di negeri ini bukanlah pelayanan, tapi minta dilayani.

Yang mengherankan justru ketika nonton TV, sekilas presenternya menyebut nominal pungli HANYA puluhan ribu hingga jutaan rupiah.
Takut telinga  salah dengar, saya coba googling dengan menyertakan kata HANYA sebagai keyword.
Dan...
Ada lho ternyata situs yang mencantumkan kata itu.

Begini.
Indonesia itu mayoritas penduduknya rakyat kecil. Salah satunya saya. Serius, ngaku saya...
Salah satu kejahatan terorganisir yang suaaaangat kami benci ya korupsi ini. Para pejabat itu lupa kalau digaji dari keringat kami, dibayar untuk melayani kami. Tapi kok ya  masih kurang dan malah terus memeras hasil keringat kami.
Makanya kami bersorak ketika para pejabat dengan korupsi milyaran rupiah ditangkap KPK.
Kami bergembira saat perampok trilyunan rupiah  berdasi itu dijebloskan ke bui. Ironisnya senyumnya masih mengembang.
Geregetan yakin lah....
Sama seperti geregetannya emak kami ketika melihat tokoh antagonis di sinetron tersenyum dengan licik.

Dan faktanya korupsi macam itu memang mirip dengan kisah sinetron kita.
Di zaman serba sulit dan pelemahan daya beli, sinetron kita konsisten dengan cerita absurd keluarga-keluarga kaya dengan latar belakang cinta-cintaan.
Begitulah kami melihat korupsi milyaran dan trilyunan rupiah. Cuma bisa gedheg sambil kadang membayangkan seberapa banyak uang korupsi itu kalau disusun ya...?

Sementara dompet kami? Waktu musim gajian bisalah sesekali beberapa warna biru dan merah bertengger.
Tapi kalau sudah tanggal tua, dominasi mereka akan digeser pecahan 2 ribu, goceng, ceban, atau 20 ribuan. Sarapan cukup nasi uduk dengan bakwan atau tempe goreng. Tanpa telur! Cukup goceng budgetnya.
Penghematan coy....

Maka ketika pungli senilai puluhan ribu hingga jutaan disepelekan dengan kata 'hanya', kok saya jadi tersinggung ya...

Buat kami OTT korupsi 7, 8, 9, 10 digit layaknya sinetron. Terlalu jauh dari angan. Hanya bisa ditonton seraya mengaduk-aduk emosi.
Tapi korupsi puluhan ribu itulah realita yang tiap saat dihadapi dengan mempertaruhkan uang beras.
Orang kecil macam kami hanya bisa ndomblong dengan korupsi kelas kakap, tapi pusing setengah hidup menghadapi pungli membuat KTP, pengantar desa, atau kecamatan.
Kami mendadak panas dalam saat musti membayar puluhan ribu agar KK cepat jadi. Tak sudi membayar? Bisa... tapi lama....
Izin ini itu juga harus menyediakan uang biru merah.
Makanya... mbok ya jangan menyepelekan korupsi kecil dengan kata 'hanya'.
Karena yang 'kecil' itu lah isi dapur kami....