6.7 trilyun

Teringat uang 6.7 trilyun terkait bank Century, rasanya susah untuk memvisualisasikan dalam kehidupan seberapa banyak uang sejumlah itu.

Selepas Asar tadi, dengan teman iseng-iseng mencoba menghitung-hitung.

Kalau lah uang 5 juta dianggap setebal 1 cm uang 100 ribuan, dan 6.7 trilyun direduksi menjadi 5 trilyun (untuk mempermudah penghitungan), maka panjang uang itu bila disusun sejauh 5.000.000.000.000/5.000.000 = 1.000.000 cm = 10.000 m = 10 km!

Luar biasa!

Bila dimensi panjang dan lebar dihitung (anggaplah panjang lebar uang 100 ribuan = 20 cm dan 10 cm) maka volumenya adalah 1.000.000 X 20 X 10 = 200.000.000 cm3 = 200 m3.
Berarti untuk menyimpan uang sejumlah 5 trilyun diperlukan ruangan setinggi 2 meter, panjang dan lebar 10 meter.

Dan ingat, uang yang disimpan merupakan pecahan 100 ribuan, nominal tertinggi untuk sementara di negeri ini.

Jadi ingat Gober Bebek....

Cikarang-Setu Suatu Hari

Orang tua datang dari Jawa, sekarang ada di Setu.

Itu berita yang saya peroleh.

Kontak sana-sini akhirnya sepakat untuk kumpul-kumpul di sana pada hari Minggu.
Kendaraan andalan apalagi kalau bukan si Trekko Flash hitam.
Baru juga lepas terminal Cikarang, begitu sampi taman di dekat PT Hitachi tiba-tiba ban kempes.

Didorong ternyata luar biasa beratnya dalam kondisi mati. Pas lihat ke belakang, ngenes rasanya. Istri setia mengikuti dengan menggendong anak. Mana pas lagi panas-panasnya….

Akhirnya dibantu tenaga mesin, dengan terseok-seok setelah melewati beberapa ‘stand’ coca cola pinggir jalan, sampai juga di tukang tambal ban.
Melepas lelah sembari menunggu ban dibongkar, istri berbisik,”Tadi ibu-ibu yang jualan coca cola bilang suruh nunggu di sana saja. Nanti bapaknya suruh balik lagi. Lain kali jangan jalan di pinggir….”

“????....”

Tak lama ketahuan penyebabnya paku berukuran sekitar 5 cm. Ban dalam yang memang kualitasnya pas-pasan sobek memanjang dan harus diganti. Repotnya lagi si tukang tamban ban tidak menyediakan ban dalam vespa.

Terpaksa harus berburu ban dalam vespa yang ternyata memang agak susah, apalagi banyak toko yang tutup di hari Minggu. Tanya ke beberapa toko dan bengkel, akhirnya dapat juga setelah mutar-muter lebih 1 km dari bengkel.

Begitu balik ke bengkel sudah ada 1 lagi ‘pasien’ motor Suzuki.

“Kena paku juga,” istri berbisik lagi. “Tadi ada mobil juga kena paku, tapi dia langsung ganti ban cadangan sendiri.”

Sekitar setengah jam kemudian, ban dalam selesai diganti. Perjalanan pun dilanjutkan. Tak lupa mengucap terima kasih kepada penambal ban. Terima kasih berbalut suudhon….

Dan Baju Koko Itu Pun Ditanggalkan Teroris (Sebuah Unek-Unek)

Entah siapa namanya. Tapi ada yang menarik tiap kali pengamen itu naik jemputan.
Pertama kali melihat, waktu itu dia berdua dengan seorang perempuan bejilbab. Adiknya mungkin....
Hari-hari selanjutnya dia selalu sendirian dengan gitar bolongnya.

Suaranya cukup bagus, tidak seperti pengamen kebanyakan yang tetap pede dengan suara pas-pasan, bahkan kadang sember demi mengejar setoran.
Bila pengamen lain penampilan tidak terlalu diperhatikan, dia konsisten dengan baju kok dan peci melingkar di kepala.
Lagu yang yang dibawakannya pun selalu berbeda dengan teman-temannya satu komunitas. Yang paling sering adalah nasyid, terutama lagu dari Opick. Kadang lagu balada milik Ebiet G Ade.

Semakin sering berinteraksi meski sekedar dari tatapan, terasa ada ikatan di antara kami. Ketika teman lain naik jemputan dari pintu depan, kadang saya lihat pintu belakang dibukakan, diiringi dengan senyumnya dan ucapan," Assalamu'alaikum... A'."

Biasanya dia naik dari SGC, kemudian turun di Pasir Gombong-Jababeka setelah membawakan 2-3 buah lagu. Tapi pagi ini dia naik dari daerah Sempu.

"Tumben naik dari sini?"

Senyumnya mengembang dulu sebelum menjawab, "Habis naik jemputan Mattel, A'... Penglaris."

Ada yang berbeda dari penampilannya. Baju kokonya! Ya... hari ini dia tidak mengenakan baju koko, tapi kaos kuning berpadu dengan warna biru.

"Hari-hari ini sedang rawan, A'. Gara-gara teroris saya terpaksa tidak pakai baju koko dulu."

Saya terhenyak.

Begitu besarnya pengaruh 'sang teroris' dalam kehidupan. Bukan hanya non muslim yang ketakutan, bahkan muslim yang menunjukkan 'identitasnya' pun menjadi khawatir.

Teringat saya akan cerita teman yang bercelana ngatung. Dia kontraktor, ... alias masih belum punya rumah. Beberapa waktu terakhir dia merasa tidak tenang. Tiap kali pulang kerja dia merasa ada yang menmbuntuti. Selidik punya selidik, ternyata yang mengikuti adalah Pak RT.

"Disyukuri saja," hibur teman saya. "Anggap saja orang penting, kemana saja harus dikawal."

Kembali ke sang pengamen.

"Apalagi kejadian kemarin ada yang di Bekasi," lanjutnya lirih. "Makanya sekarang banyak polisi di sepanjang jalan. Om saya juga mengingatkan biar tidak pakai yang macam-macam dulu."

Saya mengangguk-angguk. Miris rasanya, ketika atribut-atribut ke-Islaman diidentikkan dengan terorisme.

"Kontributor seperti saya jadi muter-muter terus sepanjang hari. Pagi kaya gini (ngamen-red), sekitar jam 10 ke Pemda, cari berita. Apalagi pas kemarin, tiap hari ke Jati Asih, nanya-nanya informasi ke penduduk sekitar."

Agak surprise juga saya. Sang pengamen adalah kontributor berita. Majalah atau koran apa?

Seolah mengerti ketakjuban saya, dia melanjutkan,"Iya... saya kontributor Rakyat Merdeka."

"Kontributor tetap atau free lance"

"Free lance."

Obrolan kami terhenti ketika dia memutus pembicaraan untuk mengamen dulu.

Sementara dia menyanyikan lagu-lagu Nasyid yang entah karya siapa, bermacam pertanyaan terhadap aksi penangkapan 'Noordin' di Temanggung menyeruak di kepala.

Apakah benar dia otak segala aksi pengeboman?

Apakah benar dia yang tertembak?

Kenapa 'konon' tidak ada bercak darah?

Kenapa drama 18 jam harus diakhiri dengan penembakan?

Kenapa tidak ditangkap hidup-hidup?

Bagaimana dengan rumah yang berantakan dan tidak bisa ditinggali lagi? Siapa yang haris bertanggung jawab?

Benarkah Jamaah Islamiyah ada? Kenapa strukturnya berdasarkan pengakuan 'mantan anggota' satu dengan yang lain selalu berbeda?

Kenapa selalu Islam yang disebut teroris?

Kenapa tiap kali ada pemboman, nama Abu Bakar Ba'asyir selalu disebut-sebut?

Apakah karena Dr. Azahari dan Noordin M Top pernah nyantri di Lukamnul Hakim?

Bukankah mereka juga pernah belajar di barat sana?

Bukankah Abu Bakar Ba'asyir pernah berkata bahwa tangannya belum pernah memegang bom?

Bukankah Abu Bakar Ba'asyir juga pernah menyatakan bahwa mestinya pengeboman dilakukan d daerah konflik?

Bukankah pengeboman juga memakan korban muslim?

Bukankah niat baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula?



Ah, entahlah....

Semua terasa janggal di otak saya yang sama sekali tidak pintar.

Yang jelas akibat pemboman, bukan hanya non muslim yang terintimidasi. Muslim dicurigai, bahkan oleh sesama muslim.

Gerak langkah serasa dibatasi labirin yang tak terlihat, namun terasa begitu kuat.

Kekhawatiran melanda semua level, mulai dari presiden hingga rakyat kecil seperti kami.

Termasuk sang pengamen ....

Kala Lelah

Salah satu penggalan hidup yang membuat saya lelah adalah ketika ditanya,”Kamu Muhammadiyah, NU, Salafi, HTI, PKS, atau….”

Dan selalu saya menjawab,”Saya muslim.”

Biasanya mereka masih penasaran dan terus mengejar, dan kembali saya menjawab,”Dulu Nabi juga tidak pernah menyatakan diri sebagai NU, Muhammadiyah atau apapun. Hanya menyatakan diri sebagai muslim.”

Saya tidak tahu, apakah memang begitu watak umat sekarang ini, atau ada grand design dari luar untuk mengacaukan Islam.

Ashobiyah. Itu yang saya tangkap.

Bahkan saya ‘dipaksa’ memilih sebagai warga NU, Muhammadiyah, atau PKS!

Bayangkan, organisasi seperti NU atau Muhammadiyah dibenturkan dengan parpol!

Kadang saya bayangkan warga NU mau hadir di pengajian Muhammadiyah.

Warga Muhammadiyah berhadapan dalam satu pengajian dengan saudara-saudara salafi.

Lalu ada dialog pula dengan teman-teman HTI.

Ada diskusi di sana.

Saling menasihati.

Saling menunjukkan yang benar dan yang salah.

Dan tak ada dendam di dada selepas itu.

Semua karena disatukan dalam lingkaran Ukhuwah.

Alangkah indahnya....

Beban kehidupan dan tumpukan pekerjaan hari ini membuat saya makin lelah. Secara tak sengaja saya menemukan beberapa baris bacaan menggugah, yang konon hasil tulisan Ustadz Rahmat Abdullah.

Meski bukan kader PKS, izinkan saya untuk mengcopy. Insya Allah bermanfaat bagi semua.


Teruslah "bergerak" hingga KELELAHAN itu LELAH mengikuti mu

Teruslah "berlari" hingga KEBOSANAN itu BOSAN mengejar mu

Teruslah "berjalan" hingga KELETIHAN itu LETIH bersama mu

Teruslah "bertahan" hingga KELEMAHAN itu LEMAH menyertai mu

Tetaplah "berjaga" hingga KELESUAN itu LESU menemani mu


1st day with Trekko Flash on The Way

Tanggal 3 Juli akhirnya datang juga flash hitam ke rumah. Berhubung datangnya sore, hanya sempat dipakai sebentar untuk ke warung, lalu masuk kandang.

Tanggal 4, dari pagi sudah siap-siap untuk melaju di jalan dengan si flash hitam. Mertua yang kebetulan ada di rumah rupanya agak khawatir belum bisa adaptasi dengan suasana di jalan raya. Demi tidak menambah kekhawatiran akhirnya saran itu dituruti. Tetap di jalan raya, tapi di rute yangtidak terlalu padat. Pilihan jatuh ke Sukaraya.

Baterai masih full. Kilometer ada di angka 1. Meski agak kagok, meluncur juga saya dengan memboncengkan anak istri. Lancar. Istri menyatakan sudah siap ke jalanan yang lebih padat. Pilihan jatuh ke Mutiara Gading Timur, karena sudah lama tidak silaturrahim ke sana.

Pulang ke rumah kilometer ada di angka 17. Mengantarkan mertua ke gerbang, pulang lagi ke rumah, kilometer sekarang menunjukkan angka 19. Baterai baru berkurang sedikit. Tanpa dicharge lagi kami pun meluncur.

Awal perjalanan cukup menyenangkan. Si flash hitam benar-benar eye catching. Dengan bodi yang masih mulus, tanpa knalpot, tanpa asap, dan tanpa suara, cukup menarik perhatian orang-orang di sepanjang jalan.

Sesampai Cibitung ada tanjakan sekitar 20 derajat. Dengan PD si flash tetap menghajar. Tarikan masih kuat.

Lepas Kompas tarikan si flash mulai terasa agak kurang bertenaga. Baterai terlihat masih setengah. Tapi di waktu-waktu tertentu ketika di gas, turun sampai garis merah. Kilometer ada di angka 35. Wah ... bahaya nih!

Sesampai Tambun tenaga makin loyo. Pas di depan pasar Tambun terlihat pos Polisi.
Meski agak ragu, dengan memberanikan diri saya parkir di depan pos. Numpang charge!
Alhamdulillah, polisinya sangat ramah. Beliau langsung mengizinkan. Cuma masalahnya colokan sangat jauh. Akhirnya saya beli kabel roll sepanjang 9 meter. Beres!

Dan lagi-lagi di situ si flash jadi pusat perhatian. Mulai dari Pak polisi, sampai orang-orang yang sedang lewat.

Sekitar setengah jam, saya merasa cukup untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan dialihkan dari Mutiara Gading Timur ke Papan Mas, yang lebih dekat.
Terima kasih banyak Pak Sujono, Pak Suwardi, Pak Mulyadi atas segala keramahan. Andai semua polisi bersikap seperti Bapak-bapak, mudah-mudahan slogan polisi sebagai sahabat masyarakat akan tercapai.

Sampai di Papan mas, si flash langsung dicharge. Penumpangnya pun dicharge dengan makanan.

Setelah cukup, perjalanan pun dilanjutkan ke Mutiara Gading Timur. Menjelang Maghrib kami sampai. Rumah kosong, penghuninya sedang ke pasar kaget.
Biarkanlah. Yang penting sudah sampai, nanti juga pada pulang. Sekarang waktunya istirahat.

Capek....

Pengguna Indosat Agar Waspada, Ada Modus Penipuan Baru

Beberapa waktu lalu saya dapat sms (sudah dihapus) yang isinya kuarng lebih begini ,"Anda dapat mendapat pesan suara dari 085++++++++++ Untuk mendengarkan ketik TP(spasi)085++++++++++ angka(lupa) kirim ke 151 (gratis)."
Berhubung tidak tahu , saya ikuti saja. Takutnya memang isinya penting, sampai harus meninggalkan pesan suara.
Jawabannya,"Anda hanya dapat mentransfer kalau saldo setelah transfer minimal 5000 rupiah."
Berikut saya copas dari web indosat:

Indosat Transfer Pulsa Baru

Lebih bebas dan bisa nambah Masa Aktif
Transfer pulsa baru adalah pengembangan dari transfer pulsa sebelumnya karena selain jumlah pulsa yang dapat ditransfer yang semakin variatif juga bisa menambah masa aktif penerima.

Dengan Layanan Transfer Pulsa maka kita bisa membantu teman, keluarga maupun kerabat yang mengalami kehabisan pulsa.
Mulai 5 Maret 2009, kirim pulsa antar nomor Indosat sekarang semakin fleksibel dan yang pasti menguntungkan karena Transfer pulsa kini tersedia juga untuk Matrix Auto.

Caranya sangat mudah:

•Ketik: TPnomor tujuannominal pulsa
•Kirim ke 151
Contoh: TP 08151234567 5000, kemudian kirim ke 151 (setiap pengiriman pulsa dikenai tarif Rp 600,-)
Syarat & Ketentuan:

•Pengirim maupun penerima harus berada dalam masa aktif (kecuali Matrix Auto).
•Penambahan masa aktif si penerima tidak akan mengurangi masa aktif pengirim.
•Masa aktif hasil transfer pulsa akan mengambil masa aktif terpanjang (tidak akumulatif) dengan maksimal 45 hari penambahan masa aktif.
•Selain tambahan masa aktif, penerima pulsa akan memperoleh tambahan masa tenggang selama 30 hari.
•Pengirim memiliki pulsa minimal Rp 5.000 setelah melakukan transfer
•Jumlah pulsa yang terkirim akan dialokasikan pada main account penerima sehingga tidak akan hangus saat penerima melakukan perpindahan paket.
•Berlaku untuk pelanggan Mentari, IM3 dan Matrix Auto.

sumber: http://www.indosat.com/IM3/IM3_Update/Indosat_Transfer_Pulsa_Baru

Artinya format yang dikirimkan bukan untuk mendengarkan pesan suara atau melihat pesan gambar, tetapi untuk mentransfer pulsa. Jadi, waspadalah pengguna Indosat!

Macet

Anda tahu jembatan layang di depan pintu tol Cikarang?

Megah berdiri, sangat membantu kelancaran arus lalu lintas di pertigaan tol. Meski kadang masih macet, tapi frekuensi dan panjang kemacetan sudah sangat jauh berkurang dari sebelum adanya jembatan layang.

Awalnya arus lalu lintas daerah itu sangatlah lancar. Seiring industrialisasi di wilayah Cikarang, pengguna jalan semakin bertambah. Arus pun semakin padat, sementara lebar jalan tidak bertambah. Macet menjadi konsekuensi. Maka saat-saat berangkat dan pulang kerja menjadi penggalan waktu yang sangat menjemukan. Perjalanan Cikarang-EJIP yang normalnya hanya setengah jam jadi memanjang hingga 1 jam.

Semakin lama kemacetan semakin krodit. Sekali perjalanan ditempuh lewat dari satu jam pun menjadi hal yang lumrah. Perusahaan mengeluh. Banyak karyawan yang datang terlambat, sementara aktifitas kerja tidak boleh berhenti berdenyut. Akibatnya jam penjemputan pun dimajukan. Semakin tua lah para karyawan di dalam jemputan. Jadwal kegiatan harian semakin berantakan. Nyaris tak ada waktu. Waktu untuk ta'lim semakin sempit.

Tiba di rumah yang tersisa hanya penat. Hobi membaca juga jadi tak tersalurkan. Ketika ada waktu pun, membaca di rumah untuk saat ini hampir tak mungkin. Baru asyik membuka 1 halaman, Syifa yang rasa ingin tahunya sedang tingi mendekat, berceloteh panjang –pendek, ikut ‘membaca’ buku, dan ujungnya sobek sana-sini. Akhirnya sesampai di rumah rutinitinas yang ada paling hanya ngobrol sebentar, bercanda dengan keluarga, setelah itu terlelap menyisakan tumpukan buku yang belum sempat dibaca di balik lemari buku.

Akhirnya Pemda tanggap juga. Proyek pembuatan jembatan layang pun dirancang. Tetapi ketika pembangunan dilaksanakan, justru puncak kemacetan terjadi. Bahkan ketika awal pembangunan pernah terjadi perjalanan EJIP-Cikarang ditempuh dalam waktu 5 jam! Luar biasa....

Ketika badan terasa lelah, jiwa ini pun semakin jarang disiram. Pengetahuan semakin jauh. Sementara telinga semakin akrab dengan genjrang-genjreng gitar pengamen.
Suatu ketika ada kajian di Masjid EJIP. Pembicaranya Syaikh Nashr Abdul Karim al 'Aql dari Arab. Ada seorang setengah baya berbadan tegap yang mendampinginya. Entah, siapa namanya dan apa posisinya.

Pada sesi tanya jawab ada seorang ikhwan yang mengajukan pertanyaan tentang keutamaan mencari ilmu. Intinya sama dengan yang saya alami. Beliau sadar bahwa mencari ilmu itu wajib. Tetapi waktunya terasa sangat sempit karena telah terkuras untuk kesibukan mencari nafkah yang juga merupakan kewajiban. Ditambah lagi kemacetan yang tanpa bosan menghadang perjalanan.

Sang pria berbadan tegap tersenyum, lantas berujar,"Para shahabat tidak kalah sibuk dari kita, tapi mereka selalu punya waktu untuk mencari ilmu."
Saya terhenyak. Jawaban itu sangat mengena. Para sahabat justru jauh lebih sibuk dari kita, dengan kesibukan yang juga sangat menguras tenaga dan pikiran. Hanya mereka mampu menerapkan manajemen waktu secara efektif.

Menengok ke belakang, saya coba menganalisa di bagian mana waktu saya tercuri untuk bermanfaat. Dan tak perlu waktu lama untuk menunjuk kemacetan yang menyebabkan waktu terampas hingga 3-4 jam tiap hari di jalan. Bayangakan, 3-4 jam per hari. Artinya dalam sebulan (22 hari kerja) dihabiskan waktu 66-88 jam di jalan, dan tidak ada yang dilakukan. Paling-paling ngobrol. Atau tidur di sela celoteh para pedagang asongan dan dendang pengamen. Duh, sangat tidak produktif. Sementara puluhan buku di rumah masih belum juga dibaca.

Hmmm... itu dia!

Di sini rupanya salah satu kesalahan saya.

Keesokan harinya saya berangkat kerja dengan berbekal buku. Kalau biasanya membaca dalam perjalanan terasa pusing, sekarang bisa agak nyaman karena jalan mobil yang tersendat. Akhirnya pengerjaan jalan layang yang menjemukan pun berubah menjadi hal menyenangkan. Beberapa buku selesai dibaca dalam perjalanan.

Hingga tak terasa proyek pembangunan jalan layang selesai juga. Biasa lama di perjalanan, takjub juga saya ketika sampai rumah sementara adzan maghrib belum juga berkumandang. Waktu dengan keluarga pun bisa lebih panjang.

Akhirnya waktu pun berjalan ‘normal’ kembali.

Selang beberapa bulan, menengok lemari buku terlihat deretan buku yang belum dibaca kembali memanjang.

Tiba-tiba saya kangen dengan kemacetan itu....

Kampanye


Kampanye. Buat saya adalah salah satu tahapan kehidupan bernegara yang masuk dalam kriteria ‘menyebalkan’. Terlalu banyak omong kosong di sana.

“Pilihlah saya!”

“Contreng no. X partai Y!”

“Partai kami menang, harga sembako turun!”

“Kami membawa solusi perbaikan pendidikan!”

“1 milyar untuk tiap desa bila kami menang!”

Bombastis sekali. Semua mengaku sebagai pahlawan yang siap memperbaiki bangsa. Rata-rata hanya menghembuskan angin surga tanpa ada program yang konkret.

Ketika ada sesuatu yang dianggap berhasil, semua main klaim sebagi pihak yang paling berjasa. Sebagi penggagas lah, sebagai pionir, penanggung jawab, pelaksana, hingga pengawas yang baik.

Dapat dipahami ketika seorang rekan setengah bercanda mengatakan,”Semua mengaku yang paling baik. MUI mewajibkan memilih calon yang baik, maka saya akan pilih semuanya.”

Saat kampanye pula anggota dewan dan pebisnis yang biasa sibuk dengan tender-tender besar bernilai sekian digit tiba-tiba masuk ke pasar tradisional. Pejabat yang hanya bisa ditemui dengan birokrasi bertingkat-tingkat pun tiba-tiba akrab dengan peluh tukang becak dan para kuli.

Ajaib.

Kemana mereka selama ini? Apakah caleg-caleg dengan mental seperti ini yang akan dipilih menjadi wakil di Senayan? Harusnya tidak. Masalahnya kita adalah bangsa yang pelupa. Jejak rekam buruk dalam fakta sejarah seringkali terhapus oleh janji-janji manis. Ditambah dengan sistem yang ada, jadilah kampanye menjadi komponen penting dalam tatanan berbangsa kita.

Untuk memilih calon yang kredibel harusnya tidak dilihat dari kampanyenya, tapi track record yang ada selama ini. Kalau pernah menjadi anggota dewan, kebijakan apa yang pernah diperjuangkan dan dihasilkannya? Seberapa besar anggota masyarakat yang ikut menikmati perannya selama duduk di kursi empuk? Seberapa sering beliau absen dalam sidang? Kalau pun turut dalam sidang apakah beliau menyuarakan aspirasi rakyat dengan segenap tenaga dan pikiran, atau lebih menikmati dinginnya AC?

Bagi calon yang belum pernah duduk menjadi anggota dewan pun harus dilihat apa yang telah dilakukannya selama ini? Jangan menjadikan alasan belum duduk di dewan sebagai hal yang menyebabkannya tidak bisa berbuat banyak di masyarakat.

Suatu hari saya menerima selebaran profil seorang caleg. Mengaku 13 tahun bekerja sebagai karyawan PT “T”. Slogannya,”Hanya Pekerja yang bisa menjiwai perjuangan Pekerja.”

Sekilas logis. Tapi bila ditelaah lebih jauh menjadi ironis. PT “T” terkenal sebagai perusahaan yang tidak stabil. Demo sering kali terjadi. Nasib karyawan terkatung-katung. Secara umum permasalahan karena rendahnya upah, status karyawan tidak jelas, hingga PHK sepihak dengan pesangon seadanya. Artinya untuk memperjuangkan rekan-rekannya saja beliau tidak mampu, kok berani-beraninya mencoba di level yang lebih tinggi?

Di lain hari terlihat jelas sebuah spanduk besar bertuliskan “… menciptakan Indonesia yang adil, makmur, dan demokrasi.”

Duh, caleg….

Apakah dulu di SMP tidak ada pelajaran membedakan kata sifat, kata kerja, atau kata benda? Niat baik saja tidak cukup. Kemampuan berbahasa mutlak diperlukan bagi anggota dewan yang mestinya akan saling melontarkan argumen dan bersinggungan dengan istilah-istilah perundangan.

Makanya banyak yang sinis dengan para caleg. Perjuangan untuk rakyat dianggap hanya kedok. Perjuangan yang sebenarnya hanya untuk diri sendiri dengan motif ekonomi dan kekuasaan. Indikasinya tentu saja biaya yang mesti dikeluarkan untuk menjadi caleg hingga akhirnya menjadi anggota legislatif.

Bagi yang tinggal di Cikarang tentu tahu baliho besar seorang caleg DPRD tk I di pertigaan pintu keluar tol Cikarang. Sebuah stasiun radio merilis biaya yang telah dikeluarkan caleg tersebut sebesar lebih dari 1 milyar rupiah! Itu jauh sebelum masa kampanye terbuka. Bayangkan biaya tambahan yang harus dikeluarkan pada kampanye terbuka.

Kalau untuk DPRD tk I saja nilainya begitu wah…, bagaimana untuk DPR Pusat? Cukup untuk membayar hutang negara barangkali, bila biaya kampanye semua caleg dari DPRD tk II hingga DPR Pusat dikumpulkan.

Selain pemborosan yang luar biasa, degradasi moral terasa dominan pada masa kampanye. Kampanye acap kali dijadikan ajang melakukan pelanggaran lalu lintas secara ‘legal’. Terlihat dengan mata telanjang betapa bangga para peserta kampanye ketika berhasil memenuhi ruas-ruas jalan dan menyebakan kemacetan panjang. Mereka lupa dengan para pengguna jalan lain yang juga punya hak untuk memanfaatkan jalan tersebut.

Moral para caleg pun setali tiga uang. Demi menarik massa segala cara dilakukan, termasuk menghadirkan penyanyi dengan goyangan erotis. Sebuah partai bahkan secara memalukan menghadirkan kasidah yang dilanjutkan dengan dangdut erotis.

Makanya lega rasanya ketika semua itu berakhir. Mulai hari ini kampanye terbuka selesai sudah. Sebagian partai mulai menurunkan atribut yang bertebaran di seluruh penjuru negeri ini. Hari-hari tenang menjelang, meski bukan jaminan partai menghentikan kampanye. Perasaan suudhan saya mengatakan kampanye masih akan tetap berlangsung meski dalam skala yang lebih kecil. Atau sembunyi-sembunyi mungkin, misalnya dengan bagi-bagi amlpop.

Pelanggaran? Menambah satu pelanggaran setelah sekian banyak pelanggaran bukanlah hal yang mengkhawatirkan. Toh selama ini Panwaslu hanya diam dan mencatat meski pelanggaran nyata-nyata ada di depan mata.



Cikarang, 6 April 2009

Semangat Iacocca

Oleh: TB. Farid

Pernah dengar nama Iacocca? Belum pernah dengar kan? Jangan kecil hati, nama orang tersebut memang tidak sepopuler produk yang dihasilkannya. Iacocca pada awalnya meniti karir di Ford, sebagai marketing. Karena ide-idenya yang cemerlang, karirnya terus menanjak hingga akhirnya di tahun 1964 ia menduduki posisi puncak di Ford. Tahu mobil Mustang ? Nah ini idenya Iacocca. Setelah menjadi direktur dia berpikir seandainya ada mobil kecil, bodi bagus, lari kencang pasti konsumen banyak yang suka. Idenya dituangkan dalam bentuk Ford Mustang.

Mustang pun dipasarkan dan laku keras. Di Ford, nama Iacocca semakin harum. Tapi hal ini berdampak buruk bagi karirnya. Iacocca membuat Ford Junior cemburu atas kesuksesannya, mereka terlibat dalam perebutan pengaruh di Ford. Iacocca pun diminta mengundurkan diri dengan tawaran uang pensiun $1 juta per tahun, dengan syarat ia tidak boleh bekerja untuk pabrik mobil manapun. Iacocca frustasi. Istrinya menguatkannya untuk bangkit, kalah terus atau kalah kali ini saja.

Iacocca menolak tawaran uang pensiun tersebut, ia memilih bekerja dengan Chrysler (diantaranya bikin Jeep). Ia hanya meminta gaji $ 1 (baca yang betul, satu dolar) per tahun, selama Chrysler belum pulih. Aneh, kok mau? Chrysler saat itu sedang dalam masalah. 250000 orang karyawannya terancam di PHK. Iacocca ingin menolong mereka dengan cara membuat ‘sehat’ Chrysler. Usahanya berhasil, beberapa tahun ke depan, Chrysler muncul sebagai industri otomotif yang disegani, setara dengan Ford Dan GM. Di bawah kepemimpinannya Chrysler berhasil mengambil alih Maseratti dan Lambhorgini.

Nah kalau punya ilmu, harta, tenaga dan kedudukan, harus kita pikirkan bagaimana caranya agar itu semua bermanfaat bagi orang lain, orang banyak. Kalau sudah begitu, energi yang muncul pada diri kita juga energi untuk orang banyak. Energi yang besar… seperti energi yang mendorong Iacocca bangkit dari keterpurukannya.



Artikel di atas adalah tulisan seorang senior saya yang pernah dikirim ke milis FUPM MM2100. Atas ijin beliau, tulisan yang menurut saya sangat 'menggugah' itu saya publish di blog saya. Matur nuwun ijinnya, Pak....

Berjualan Dandang


Tulisan berikut adalah kreatifitas seorang senior saya yang sudah memberikan izin untuk dipublish di blog saya. Beliau tinggal di kota besar bernama Tambun, kadang-kadang 'mengaku' tinggal di Sukaresmi


Tahu dandang ? Kami di Bekasi menyebutnya dandang, alat menanak/mengukusnasi , biasanya terbuat (kalau tidak salah) dari sejenis tembaga, atau seng yang tebal dan di cat agak kemerah-merahan, bentuknya antik memanjang. Perkakas tradisional. Saya lupa kapan terakhir kali, ibu saya sendiri menggunakan alat ini, mungkin ketika saya SD.

Tadi sewaktu berangkat kerja, saya melihat penjaja keliling penjual dandang. Dua dandang dipikulnya.

"Siapa yang beli," pikir saya. Dandang-dandang tersebutharus bersaing ketat dengan rice cooker, buatan pabrik-pabrik besar, yangdibuat secara mass production, hingga harga jualnya pun terbilang rendah. Berat sekali saingan tukang dandang. Kalau laku dua-duanya pun tidakseberapa juga untungnya.

Saya jadi teringat dulu sekali sewaktu SMP melihat penjaja keliling, tukang cobek. Terlihat berat dagangannya, dan saya berkomentar pada Bapak saya, "Jualan cobek siapa yang beli pak, kan barangnya kuat, sekali beli orang nggak beli-beli lagi."

"Allah punyarahasia-Nya sendiri, banyak hal yang menurut kita berat, tetapi mungkin danbisa," begitu komentar Bapak. "Rizkinya pasti ada, buat dia dan anak-istrinya'," beliau menambahkan. "Tugas kita berusaha."

Tugas kita berusaha, saya ingat itu. Usaha dan hasilnya pun beda-beda, adayang sekali klik, bisa milyaran dollar masuk rekening, misalnya GeorgeSoros. Ada yang berkeringat-ketingat, dapat sepuluh ribu rupiah sehari. Ada yang US$ 350,000 per bulan ada yang Rp 300.000 satu bulan. Bertingkat-tingkat. Allah punya rahasianya sendiri. Pernah ada seorang rekan, buruh percetakan, yang bicara pada saya ,"Allah tidak adil, ada orang yang kaya, cari uang gampang, tapi ada yang miskin, cari uang susah. Kaya saya ini. Kamu juga enak bisa kuliah."

Saya diam tidak menjawab, berhari-hari saya mencari jawabannya, hingga akhirnya saya menemukan sebuah hadist Rasulullullah SAW, "Hakikat rizki ada dua, pakaian yang kita pakai hingga usang dan makanan yang kita makan".

Subhanallah, saya temui lagi rekan saya tadi. Saya bilang,"'Kang, (saya bacakan hadist yang tadi), Om Liem (mantan Boss BCA), kira-kira makannya banyakan siapa sama akang ?"

Jawab dia ,"'Ya, banyakan saya dong, saya kan kuli, makannya gembul."

Lanjut saya,"Kalau pakai baju kira-kira lamaan siapa ?"

Jawab dia,"Lamaan saya, saya mah kalau belum sobek ya belum ganti."

"Nah kira-kira rizkinya banyakan siapa akang apa Liem?"

Dia senyum-senyum.

Saya bilang Allah Maha Adil.

Setiap orang punya perannya sendiri, bertingkat-tingkat, menurut kita. Tetapi Allah punya pandangan lain, bagiNya semuanya sama, yang membedakancuma takwa. Gozueta, diberi 'sedikit air' oleh Allah, berjualan Coca Cola, jadilah ia dalam jajaran orang-orang kaya di dunia. Bagi Allah, harta Gozueta atau harta si tukang dandang tidak bernilai apa-apa, Dia Maha Kaya. Sepantasnya, berjalan kaki atau naik Mitsubishi Pajero DID, dua-duanya membuat kita bahagia.....

Oleh-oleh Islamic Book Fair 2009

Meski dengan budget terbatas, akhirnya sampai juga di Istora Senayan, tempat berlangsungnya event tahunan Islamic Book Fair. Belum juga masuk, sudah dapat majalah gratis. Namanya Gozian, kalau tidak salah. Majalah baru, dengan harga standar 33 ribu. Lumayan....
Seperti biasa, saya tidak parkir di salah satu stand, tapi langsung muter ke seluruh arena seraya mata memelototi nilai diskon. Tujuan utama jelas, membandingkan harga! Itu salah satu prioritas di jaman kantong cekak akibat krisis global sekarang ini.
Putar-puter putar-puter, transit pertama saya di Penerbit Azzam. Apalagi motifnya kalau bukan harga. Bayangkan... buku yang saya taksir harga standarnya 20 ribuan, dijual dengan harga 10 ribu rupiah dapat 3 buku. Selesai bayar dan belum juga keluar stand, mata kembali terpaku melihat angka 80%. Yang bener, nih?! Ikut ubak-ubek, dapat 5 buku, cukup bayar Rp 50.500,00. Hmm... di satu stand saja 2X bayar. Mudah-mudahan mbak kasir tidak nggerundel :)
Lepas dari Azzam (kaya nama keponakan), dilanjutkan dengan perjalanan antar stand yang seolah berlomba dengan besarnya diskon yang berkisar antara 20 hingga 80%. Yang dijual pun beragam, mulai dari buku tebal nan mahal seperti tafsir Ibnu Katsir, hingga majalah yang dihargai 1000-2000 rupiah. Jilbab, baju, madu, aneka herbal, serta beragam aneka permainan edukatif pun tak ketinggalan. Di lantai 2 saya langsung jatuh hati dengan CD interaktif seharga 50 ribuan. Bagus juga nih, kayanya buat Syifa. Tapi begitu ingat dengan komputer yang harddisknya sedang jebol dan budget yang kian tipis, diputuskan untuk membeli VCD saja plus beberapa buku dan majalah anak.
Capek juga. Istirahat dulu, ah....
Menikmati bekal arem-arem yang khusus dibawakan istri. Ingat pengalaman tahun kemarin, dia. Akibat tidak tahan dengan godaan buku, dana makan siang terpakai untuk beli buku. Uang cadangan transport pun tidak luput dari sasaran. Akibatnya seharian muterin book fair tanpa makan dan minum. Begitu sampai rumah, uang di kantong cuma tersisa 500 rupiah. Hi... hi... hi....
Dari bangku penonton, di panggung terlihat mbak MC dengan penuh semangat memperkenalkan bintang tamu bernama Asmirandah. Halah! Siapa lagi itu? Penulis kah? Perwakilan penerbit? Atau apa? Langsung deh pasang kuping baik-baik.
Oalah... artis sinetron, to? Pantas tidak familier di telinga. Lha wong TV di rumah saya 'haram'kan untuk acara sinetron, ya pantas kalau tidak tahu. Habis, sinetron kita begitu, sih. Tidak membumi. Di tengah kemiskinan yang masih menjamur, gaji UMK yang pas-pasan, kok penggambaran di sinetron selalu saja tentang keluarga kaya yang punya mobil mewah, rumah bertingkat, dibalut dengan acara cinta-cintaan. Giliran ada karakter orang miskin yang susah makan, rumahnya digambarkan permanen, punya sofa cukup bagus, baju yang tidak murahan.... Pak sutradara tidak pernah bersentuhan dengan orang miskin kali, ya?
Selepas Asar saya pulang dengan membawa 20-an buku/majalah dan 2 CD. Dikalkulasi untuk ongkos, masih tersisa 3500 rupiah. saya bayangkan istri akan menyambut dengan tawa lebar. Setidaknya sisanya lebih banyak dari tahun kemarin.

Catatan Pergantian Tahun, Sebuah Ironi

Ketika ada Saudara yang meninggal bertepatan dengan acara pesta (walimah misalnya), demi menghormati yang meninggal selayaknya kemeriahan acara agak dikurangi.
Lantas bagaimana kalau meninggalnya karena kecelakaan lalu lintas? Bukan hanya mengurangi kemeriahan acara, tentu kita ikut sibuk mengurus jenazah dari RS, mondar mandir ke kantor polisi, dsb.
Kalau kecelakaannya disengaja? Ditabrak mobil misalnya, oleh orang yang iri dengan Saudara....
Saya yakin proses pengusutan perkara akan lebih dominan. Dan kalaupun pesta tetap dilaksanakan hiasan utamanya adalah keprihatinan dan linangan air mata. Atau mungkin sekedar ijab kabul. Bisa saja kemeriahan dipaksakan, tapi image negatif akan segera melekat sebagai orang yang tidak tahu etika.
Malam ini kita lihat pesta diselenggaraka dimana-mana. Kembang api menghias langit malam semenjak sore.
"Jalanan penuh," kata tetangga yang baru pulang dari bepergian.
Jalan menuju puncak apalagi. Acara TV penuh dengan tawa, gemerlap, dan kegembiraan. Gang-gang kecil pun tak mau kalah semarak. Asap mengepul berbaur dengan aroma ayam, ikan, daging, atau jagung yang terbakar.
Malam yang biasanya syahdu kali ini tidak menyisakan ruang untuk menghadirkan kata sepi.
Entah berapa milyar (atau bahkan trilyun?) rupiah dana yang yang terserap untuk menciptakan kemeriahan itu. Padahal jauh di belahan lain bumi ini ribuan nyawa tengah terancam kematian. Ribuan nyawa saudara kita. Bukan karena sakit, kecelakaan, atau ditabrak mobil, tapi DIBANTAI!
Dalam waktu tidak lebih dari seminggu 400-an nyawa melayang. Ribuan lainnya luka-luka dan siap menjemput maut. Tak peduli itu anak-anak, wanita, atau siapa pun.
Di jalur Gaza bom dan roket masih terus mengiringi tiap derap langkah saudara-saudara kita. Bangunan dan rumah roboh sama rata dengan tanah. Setelah mengancurkan Rumah Sakit dan Masjid dengan ringan Sang Menteri Luar Negeri Israel mengatakan," Hamas bersembunyi di balik warga Sipil. Mereka tidak peduli dengan warga sipil."
Sebuah pembenaran yang ironis....
Sementara Saudara-saudara kita bercanda dengan maut, mungkin para zionis itu tengah berpesta dan tertawa terbahak seperti pesta pora dan tawa di sekitar kita.
Sementara saudara kita kehabisan makanan dan obat-obatan, mungkin Yahudi itu tengah kebingungan menghabiskan makanan dan minuman yang melimpah. Persis seperti makanan yang berhamburan di sekitar kita.
Sementara Saudara kita sibuk mengindar dari hujan bom dan roket, kita sibuk melontarkan kembang api dan mercon.
Entah berapa banyak dana kita yang terbuang....
Entah berapa banyak dana yang disisihkan untuk Saudara kita di Gaza....
Masihkah ada empati di dada kita?
Entahlah....
Mungkin hati kita telah membeku
Seperti hati para zionis....



Cikarang, 31 Desember 2008
pukul 23.25