Meski dengan budget terbatas, akhirnya sampai juga di Istora Senayan, tempat berlangsungnya event tahunan Islamic Book Fair. Belum juga masuk, sudah dapat majalah gratis. Namanya Gozian, kalau tidak salah. Majalah baru, dengan harga standar 33 ribu. Lumayan....
Seperti biasa, saya tidak parkir di salah satu stand, tapi langsung muter ke seluruh arena seraya mata memelototi nilai diskon. Tujuan utama jelas, membandingkan harga! Itu salah satu prioritas di jaman kantong cekak akibat krisis global sekarang ini.
Putar-puter putar-puter, transit pertama saya di Penerbit Azzam. Apalagi motifnya kalau bukan harga. Bayangkan... buku yang saya taksir harga standarnya 20 ribuan, dijual dengan harga 10 ribu rupiah dapat 3 buku. Selesai bayar dan belum juga keluar stand, mata kembali terpaku melihat angka 80%. Yang bener, nih?! Ikut ubak-ubek, dapat 5 buku, cukup bayar Rp 50.500,00. Hmm... di satu stand saja 2X bayar. Mudah-mudahan mbak kasir tidak nggerundel :)
Lepas dari Azzam (kaya nama keponakan), dilanjutkan dengan perjalanan antar stand yang seolah berlomba dengan besarnya diskon yang berkisar antara 20 hingga 80%. Yang dijual pun beragam, mulai dari buku tebal nan mahal seperti tafsir Ibnu Katsir, hingga majalah yang dihargai 1000-2000 rupiah. Jilbab, baju, madu, aneka herbal, serta beragam aneka permainan edukatif pun tak ketinggalan. Di lantai 2 saya langsung jatuh hati dengan CD interaktif seharga 50 ribuan. Bagus juga nih, kayanya buat Syifa. Tapi begitu ingat dengan komputer yang harddisknya sedang jebol dan budget yang kian tipis, diputuskan untuk membeli VCD saja plus beberapa buku dan majalah anak.
Capek juga. Istirahat dulu, ah....
Menikmati bekal arem-arem yang khusus dibawakan istri. Ingat pengalaman tahun kemarin, dia. Akibat tidak tahan dengan godaan buku, dana makan siang terpakai untuk beli buku. Uang cadangan transport pun tidak luput dari sasaran. Akibatnya seharian muterin book fair tanpa makan dan minum. Begitu sampai rumah, uang di kantong cuma tersisa 500 rupiah. Hi... hi... hi....
Dari bangku penonton, di panggung terlihat mbak MC dengan penuh semangat memperkenalkan bintang tamu bernama Asmirandah. Halah! Siapa lagi itu? Penulis kah? Perwakilan penerbit? Atau apa? Langsung deh pasang kuping baik-baik.
Oalah... artis sinetron, to? Pantas tidak familier di telinga. Lha wong TV di rumah saya 'haram'kan untuk acara sinetron, ya pantas kalau tidak tahu. Habis, sinetron kita begitu, sih. Tidak membumi. Di tengah kemiskinan yang masih menjamur, gaji UMK yang pas-pasan, kok penggambaran di sinetron selalu saja tentang keluarga kaya yang punya mobil mewah, rumah bertingkat, dibalut dengan acara cinta-cintaan. Giliran ada karakter orang miskin yang susah makan, rumahnya digambarkan permanen, punya sofa cukup bagus, baju yang tidak murahan.... Pak sutradara tidak pernah bersentuhan dengan orang miskin kali, ya?
Selepas Asar saya pulang dengan membawa 20-an buku/majalah dan 2 CD. Dikalkulasi untuk ongkos, masih tersisa 3500 rupiah. saya bayangkan istri akan menyambut dengan tawa lebar. Setidaknya sisanya lebih banyak dari tahun kemarin.
0 komentar:
Posting Komentar