Macet

Anda tahu jembatan layang di depan pintu tol Cikarang?

Megah berdiri, sangat membantu kelancaran arus lalu lintas di pertigaan tol. Meski kadang masih macet, tapi frekuensi dan panjang kemacetan sudah sangat jauh berkurang dari sebelum adanya jembatan layang.

Awalnya arus lalu lintas daerah itu sangatlah lancar. Seiring industrialisasi di wilayah Cikarang, pengguna jalan semakin bertambah. Arus pun semakin padat, sementara lebar jalan tidak bertambah. Macet menjadi konsekuensi. Maka saat-saat berangkat dan pulang kerja menjadi penggalan waktu yang sangat menjemukan. Perjalanan Cikarang-EJIP yang normalnya hanya setengah jam jadi memanjang hingga 1 jam.

Semakin lama kemacetan semakin krodit. Sekali perjalanan ditempuh lewat dari satu jam pun menjadi hal yang lumrah. Perusahaan mengeluh. Banyak karyawan yang datang terlambat, sementara aktifitas kerja tidak boleh berhenti berdenyut. Akibatnya jam penjemputan pun dimajukan. Semakin tua lah para karyawan di dalam jemputan. Jadwal kegiatan harian semakin berantakan. Nyaris tak ada waktu. Waktu untuk ta'lim semakin sempit.

Tiba di rumah yang tersisa hanya penat. Hobi membaca juga jadi tak tersalurkan. Ketika ada waktu pun, membaca di rumah untuk saat ini hampir tak mungkin. Baru asyik membuka 1 halaman, Syifa yang rasa ingin tahunya sedang tingi mendekat, berceloteh panjang –pendek, ikut ‘membaca’ buku, dan ujungnya sobek sana-sini. Akhirnya sesampai di rumah rutinitinas yang ada paling hanya ngobrol sebentar, bercanda dengan keluarga, setelah itu terlelap menyisakan tumpukan buku yang belum sempat dibaca di balik lemari buku.

Akhirnya Pemda tanggap juga. Proyek pembuatan jembatan layang pun dirancang. Tetapi ketika pembangunan dilaksanakan, justru puncak kemacetan terjadi. Bahkan ketika awal pembangunan pernah terjadi perjalanan EJIP-Cikarang ditempuh dalam waktu 5 jam! Luar biasa....

Ketika badan terasa lelah, jiwa ini pun semakin jarang disiram. Pengetahuan semakin jauh. Sementara telinga semakin akrab dengan genjrang-genjreng gitar pengamen.
Suatu ketika ada kajian di Masjid EJIP. Pembicaranya Syaikh Nashr Abdul Karim al 'Aql dari Arab. Ada seorang setengah baya berbadan tegap yang mendampinginya. Entah, siapa namanya dan apa posisinya.

Pada sesi tanya jawab ada seorang ikhwan yang mengajukan pertanyaan tentang keutamaan mencari ilmu. Intinya sama dengan yang saya alami. Beliau sadar bahwa mencari ilmu itu wajib. Tetapi waktunya terasa sangat sempit karena telah terkuras untuk kesibukan mencari nafkah yang juga merupakan kewajiban. Ditambah lagi kemacetan yang tanpa bosan menghadang perjalanan.

Sang pria berbadan tegap tersenyum, lantas berujar,"Para shahabat tidak kalah sibuk dari kita, tapi mereka selalu punya waktu untuk mencari ilmu."
Saya terhenyak. Jawaban itu sangat mengena. Para sahabat justru jauh lebih sibuk dari kita, dengan kesibukan yang juga sangat menguras tenaga dan pikiran. Hanya mereka mampu menerapkan manajemen waktu secara efektif.

Menengok ke belakang, saya coba menganalisa di bagian mana waktu saya tercuri untuk bermanfaat. Dan tak perlu waktu lama untuk menunjuk kemacetan yang menyebabkan waktu terampas hingga 3-4 jam tiap hari di jalan. Bayangakan, 3-4 jam per hari. Artinya dalam sebulan (22 hari kerja) dihabiskan waktu 66-88 jam di jalan, dan tidak ada yang dilakukan. Paling-paling ngobrol. Atau tidur di sela celoteh para pedagang asongan dan dendang pengamen. Duh, sangat tidak produktif. Sementara puluhan buku di rumah masih belum juga dibaca.

Hmmm... itu dia!

Di sini rupanya salah satu kesalahan saya.

Keesokan harinya saya berangkat kerja dengan berbekal buku. Kalau biasanya membaca dalam perjalanan terasa pusing, sekarang bisa agak nyaman karena jalan mobil yang tersendat. Akhirnya pengerjaan jalan layang yang menjemukan pun berubah menjadi hal menyenangkan. Beberapa buku selesai dibaca dalam perjalanan.

Hingga tak terasa proyek pembangunan jalan layang selesai juga. Biasa lama di perjalanan, takjub juga saya ketika sampai rumah sementara adzan maghrib belum juga berkumandang. Waktu dengan keluarga pun bisa lebih panjang.

Akhirnya waktu pun berjalan ‘normal’ kembali.

Selang beberapa bulan, menengok lemari buku terlihat deretan buku yang belum dibaca kembali memanjang.

Tiba-tiba saya kangen dengan kemacetan itu....

0 komentar: