Sekitar pukul dua dini hari
“Umi sana!” teriak anak saya, mengusir uminya keluar kamar. Dengan mata setengah mengatup, tanpa banyak komentar istri saya keluar kamar. Dia tahu Syifa sedang 'kumat' kangennya dengan saya yang sering meninggalkannya bekerja seharian.
Benar saja, sepeninggal uminya Syifa mengajak saya bercanda. Menunjuk ini itu seraya menanyakan apa namanya. Saya menanggapi sekedarnya saja akibat kantuk yang masih mendera. Sampai suatu saat dia memasukkan tangannya ke hidung, mengeluarkan kotorannya, dan menempelkan di pipi saya.
“Buat abi.”
Spontan saya buang kotoran itu.
“Upil aku mana?” tanya Syifa beberapa saat kemudian ketika menyadari pipi saya telah bersih. Tanpa menunggu jawaban tangisnya pun seketika pecah membelah sepi, seolah kehilangan berlian yang sangat berharga.
Dini hari itu saya belajar dari anak berumur dua tahun.
Seringkali kita sebagai orang tua terlalu memaksakan logika berpikir kita kepada anak. Padahal dalam memandang suatu masalah anak memiliki perspektif tersendiri. Persepektif yang hanya didasarkan atas cinta dengan penuh kejujuran. Perspektif yang diekspresikan dalam 'bahasa asing' yang hanya dapat diterjemahkan dengan kesederhanaan.
Bagi kita, apa yang Syifa berikan hanyalah sebuah kotoran. Sementara mungkin bagi si kecil, sebuah pemberian tetaplah pemberian. Apa pun bentuk dan berapa pun nilainya, selayaknya mendapatkan penghargaan, minaimal dengan ucapan terima kasih.
Di lain waktu, Syifa yang selalu menatap lekat-lekat tiap kali ada pesawat terbang melintas, mengajukan permintaan yang mencengangkan.
“Bi naik pesawat.”
Oalah nak ... nak .... Berapa gaji abimu, nak? Untuk keperluan sehari-hari saja harus diterapkan anggaran ekstra ketat agar tidak ada pos pengeluaran yang terganggu. Lha kok minta naik pesawat segala. Mahal, nak...
Seolah tahu kebingungan saya, Syifa mengeluarkan buku tulis yang dulu saya pakai sewaktu masih sekolah.
Ada gambar pesawat di cover depannya.
Ditaruhnya di lantai, lantas diduduki.
“Abi naik.”
Dengan diboncengkan anak, untuk pertama kalinya sepanjang hidup akhirnya saya bisa merasakan 'naik pesawat'.
Ngeeeeeeeeng....
*)Ada beberapa orang yang salah memahami isi tulisan ini sebagai ekspresi cinta saya kepada anak. Sesungguhnya memang tulisan ini sebagai salah satu tanda cinta saya pada Syifa, tapi isinya justru penggambaran cinta yang jujur dari anak. Anak merajuk ketika kita tinggal misalnya, dalam rangka cinta. Anak menangis, ngambek, kolokan, justru karena cintanya kepada kita...
*)Pernah dimuat di www.eramuslim.com dan dipublish di milis FUPM MM2100, milis Saksi, dan milis Syiar Islam
4 komentar:
beristirahat sambil menimba ilmu..
insya allah kalo ada kesempatan ingin berkenalan..
ingin ikut belajar..
matur suwun...
mukidi - purta forum
Matur nuwun sampun ningali, nggih Kang. Kula nggih belajar, kok saking kang Mukidi....
Thks...
Posting Komentar