Meski sudah sekian lama tinggal di Bekasi, bingung juga saya mencari tempat sholat ketika pindah di Cikarang. Waktu kerja saya yang non shift dan pemanfaatan fasilitas jemputan ‘memaksa’ saya untuk hampir selalu Shalat Maghrib di jalan. Apalagi ketika ada pengecoran jalan sehingga parjalanan tersendat.
Awal-awal di Cikarang, saya mencari masjid/musholla dengan panduan suara Adzan. Alhamdulillah, ketemu dan bisa ikut berjamaah meski masbuk. Lokasinya agak ke dalam.
Di lain waktu saya melihat ada musholla kecil, tidak jauh dari jalan utama. Alhamdulillah, ketemu lagi satu tempat alternatif untuk sholat. Letaknya yang strategis sedikit membantu mengurangi waktu perjalanan. Akhirnya Musholla itu menjadi tempat favorit saya untuk menunaikan Shalat Maghrib.
Suatu hari seperti biasa saya berniat Shalat Maghrib di Mushalla tersebut. Sembari menunggu akhwat yang sedang wudhu (lokasi wudhu ihwan dan akhwat jadi satu) saya melihat-lihat ke sekeliling. Hingga akhirnya pandangan saya tertuju ke 2 buah bangunan rendah membujur ke utara. Lokasinya tepat di depan Mushalla, agak tersembunyi karena tertutup tanaman. Makamkah itu? Penasaran, saya dekati… dan Betul! Itu adalah makam!
Deg!
Bukankah tidak boleh shalat di Masjid yang ada kuburannya? *)
Dimulailah kembali pencarian Mushalla atau Masjid yang aman dan nyaman.
Ketemu! Sebuah masjid besar, lokasinya persis di pinggir jalan utama. Alhamdulillah. Sore itu saya bisa Shalat Maghrib dengan nyaman. Benarkah? Shalatnya iya, tapi begitu keluar sandal saya sudah tidak ada di tempatnya.
Duh, hari gini kok ya masih saja ada kasus kehilangan sandal? Penasaran, saya susuri sepanjang depan teras masjid. Memang tidak ada. Yang ada hanya beberapa pasang sandal jepit yang telah usang.
Di tengah kebingungan, ada anak muda yang mengatakan sandal saya ada di tempat penitipan sandal. Agak kurang yakin, saya hampiri juga tempat itu. Beberapa pasang sandal yang relatif masih bagus berjajar rapi di sana dengan nomor urut di atasnya. Di dekatnya ada anak muda bersarung, tangannya menggenggam lembaran-lembaran uang seribuan rupiah.
Setelah agak lama meneliti, akhirnya saya mengenali salah satunya sebagai sandal saya.
“Lho, kok ada di sini?” komplain saya.
“Iya, Pak,” jawabnya. “Biar aman. Soalnya sering terjadi kasus kehilangan sandal di sini.”
“Berarti dipindahkan waktu saya sedang shalat, dong.”
“Iya, Pak. Buat ngamanin.”
“Lha, terus fungsi keamanannya dimana? Kalau ada orang yang mengaku sebagai pemilik sandal saya, misalnya. Bagaimana? Bisa saja, kan?”
“Ya, kan kami hapalin orangnya, Pak.”
“Bukan begitu. Kalau memang maksudnya untuk mengamankan mestinya sistemnya diperbaiki, dong.”
“Ya, kalau nggak bayar juga nggak apa-apa, kok, Pak.”
Ucapannya yang terakhir terakhir terasa menusuk ulu hati saya. Meski dia bilang tidak, tapi ungkapan tadi justru menunjukkan bahwa motifnya memang uang. Uang yang (entah sengaja atau tidak) diletakkan di tangannya semakin menambah kuat dugaan itu.
Sekilas 1000 rupiah bukan suatu masalah besar. Tapi menjadi berbahaya kalau ‘penitipan sandal’ sengaja dijadikan komoditas dengan aktif mencari konsumen. Seharusnya dengan peletakan sandal tidak di tempat penitipan, para penjaga sadar kalau jamaah tidak ingin menitipkan sandalnya. Meskipun tidak ada paksaan untuk membayar, tapi kultur ewuh-pakewuh orang Indonesia menyebabkan hal itu menjadi ‘pemaksaan’ secara halus.
Konteksnya sama dengan kejadian di Mushalla tidak jauh dari masjid tersebut. Ketika jamaah sedang shalat, ada dua orang yang ‘tidak kalah khusyuk’ menyemir sandal yang ada di luar.
Berawal dari ketidaksengajaan, seorang yang baru saya kenal menyarankan shalat di Masjid SGC (Sentra Grosir Cikarang). Bayangan saya tidak jauh beda dengan Mushalla yang ada di mall-mall pada umumnya. Sempit, kumuh, antri, bising, karena terletak di area parkir. Sebuah milis Islam bahkan pernah menginventarisir kelayakan Mushalla-Mushalla yang ada di Jabotabek karena kesan ‘dipinggirkan’ selama ini.
Tapi ternyata saya salah. Tempat shalat di SGC terletak di lantai paling atas. Lumayan luas, dengan halaman yang tak kalah luas. Tempat wudhu dan toilet juga cukup representatif, dibersihkan secara berkala.
Meski kemudian secara perlahan info tentang masjid yang aman dan nyaman mulai bermunculan, tidak bisa dikesampingkan kalau Masjid SGC salah satu di antaranya.**)
*) lihat di http://www.almanhaj.or.id/content/345/slash/0
**)Maksud saya menulis ini, bukan promosi SGC. Saya sama sekali tidak ada keterkaitan dengan SGC. Tulisan ini semata-mata rasa terima kasih kepada pengelola SGC yang telah membuatkan tempat ibadah yang layak ketika pusat perbelanjaan lain meremehkan hal ini. Tidak adil rasanya kalau hanya bisa mengkritik, tapi ketika ada kebaikan enggan untuk memuji.
"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi."
(Q.S Al Furqan:53)
Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton acara TV `Discovery Chanel' pasti kenal Mr. Jacques Yves Costeau, ia seorang ahli Oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke berbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat film dokumenter tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton oleh seluruh dunia
Captain Jacques Yves Costeau, saat menemukan patung-patung perunggu peninggalan kapal romawi kuno yang karam.
Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya karena tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang asin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.
Captain Jacques Yves Costeau, saat melakukan pendakian di Gunung Alpine. Saat itu terjadi kecelakaan fatal yang menyebabkan dirinya hampir mati.
Fenomena ganjil itu membuat bingung Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari tahu penyebab terpisahnya air tawar dari air asin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berpikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan tentangfenomena ganjil tersebut.
Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan (surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez. Ayat itu berbunyi "Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laayabghiyaan..." Artinya: "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing." Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.
Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diartikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air asin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi "Yakhruju minhuma lu'lu`u wal marjaan" Artinya "Dari keduanya keluar mutiara dan marjan." Padahal di muara sungai tidak ditemukan mutiara.
Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur'an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur'an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera.
Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahwa Al Qur'an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam. Subhanallah… Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim. Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air." Bila seorang bertanya, "Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali?" Rasulullah s.a.w. bersabda, "Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran."
Wallahu a'lamu bishawab...
Mengenang Captain Jacques Yves Costeau
(11 Juni 1910 - 25 Juni 1997)
Sekitar pukul dua dini hari
“Umi sana!” teriak anak saya, mengusir uminya keluar kamar. Dengan mata setengah mengatup, tanpa banyak komentar istri saya keluar kamar. Dia tahu Syifa sedang 'kumat' kangennya dengan saya yang sering meninggalkannya bekerja seharian.
Benar saja, sepeninggal uminya Syifa mengajak saya bercanda. Menunjuk ini itu seraya menanyakan apa namanya. Saya menanggapi sekedarnya saja akibat kantuk yang masih mendera. Sampai suatu saat dia memasukkan tangannya ke hidung, mengeluarkan kotorannya, dan menempelkan di pipi saya.
“Buat abi.”
Spontan saya buang kotoran itu.
“Upil aku mana?” tanya Syifa beberapa saat kemudian ketika menyadari pipi saya telah bersih. Tanpa menunggu jawaban tangisnya pun seketika pecah membelah sepi, seolah kehilangan berlian yang sangat berharga.
Dini hari itu saya belajar dari anak berumur dua tahun.
Seringkali kita sebagai orang tua terlalu memaksakan logika berpikir kita kepada anak. Padahal dalam memandang suatu masalah anak memiliki perspektif tersendiri. Persepektif yang hanya didasarkan atas cinta dengan penuh kejujuran. Perspektif yang diekspresikan dalam 'bahasa asing' yang hanya dapat diterjemahkan dengan kesederhanaan.
Bagi kita, apa yang Syifa berikan hanyalah sebuah kotoran. Sementara mungkin bagi si kecil, sebuah pemberian tetaplah pemberian. Apa pun bentuk dan berapa pun nilainya, selayaknya mendapatkan penghargaan, minaimal dengan ucapan terima kasih.
Di lain waktu, Syifa yang selalu menatap lekat-lekat tiap kali ada pesawat terbang melintas, mengajukan permintaan yang mencengangkan.
“Bi naik pesawat.”
Oalah nak ... nak .... Berapa gaji abimu, nak? Untuk keperluan sehari-hari saja harus diterapkan anggaran ekstra ketat agar tidak ada pos pengeluaran yang terganggu. Lha kok minta naik pesawat segala. Mahal, nak...
Seolah tahu kebingungan saya, Syifa mengeluarkan buku tulis yang dulu saya pakai sewaktu masih sekolah.
Ada gambar pesawat di cover depannya.
Ditaruhnya di lantai, lantas diduduki.
“Abi naik.”
Dengan diboncengkan anak, untuk pertama kalinya sepanjang hidup akhirnya saya bisa merasakan 'naik pesawat'.
Ngeeeeeeeeng....
*)Ada beberapa orang yang salah memahami isi tulisan ini sebagai ekspresi cinta saya kepada anak. Sesungguhnya memang tulisan ini sebagai salah satu tanda cinta saya pada Syifa, tapi isinya justru penggambaran cinta yang jujur dari anak. Anak merajuk ketika kita tinggal misalnya, dalam rangka cinta. Anak menangis, ngambek, kolokan, justru karena cintanya kepada kita...
*)Pernah dimuat di www.eramuslim.com dan dipublish di milis FUPM MM2100, milis Saksi, dan milis Syiar Islam