Adalah sebuah perdebatan di sebuah group dimana member
saling adu argument tentang kejamnya dunia kapitalis negeri ini, dimana
karyawan dituntut memeras keringat dan otak dengan penghargaan kurang sepadan.
Hal itu membuat saya teringat dengan beberapa percakapan
saya sekian waktu terakhir.
Diawali dengan tukang ketoprak. Ketika mencoba menganalisis hasil penjualan
ketoprak dengan keuntungan 40% dari
perspektif saya, dia hanya tersenyum kecil.
Topi lusuh, gerobak kusam, dan kaos berpeluh keringatnya sedikit membelokkan asumsi, bahwa keuntungannya di
bawah 40%. Yang jelas di hari biasa
sekitar 1 jam mulai berjualan, biasanya
terjual sekitar 15 porsi dengan harga Rp 5000,00 per porsi.
Di waktu yang lain secara tidak sengaja bapak tukang
ketoprak yang justru buka-bukaan tentang keuntungannya.
“Agak malas sebenarnya jualan di hari Senin. Biasanya sepi.”
“Terus yang ramai hari apa biasanya, Pak?”
“Yah … kalau hari lain standar. Yang ramai hari Jumat ada
pasar malam, sama Sabtu Minggu. Bisa dapat 600 ribu.”
“Bersih?”
“Total. Tapi kan
lumayan. Buat belanja lagi sekitar 200
ribu.”
Langsung otak menghitung secara otomatis. Berarti keuntungan 400 ribu per hari selama 3
hari (Jumat, Sabtu, Minggu), sudah 1.2 juta. Hari Senin sampai Kamis belum dihitung. Anggaplah dapat 50% dari hari ‘ramai’, dia
dapat keuntungan 200 ribu. Sudah 800
ribu. Total 2 juta dalam 1 minggu.
Sebulan…?
Itu tukang ketoprak…
Cerita lain datang dari tukang cimol.
Dia berjualan cimol di pasar malam. Tiap malam berpindah tempat. 1 plastik kecil
cimol dia jual 1000 rupiah dengan bumbu aneka rasa. Di hari Minggu biasanya ada
pasar pagi. Nah, di pasar pagi dia tidak
jualan cimol, tapi teh poci.
Hasilnya?
Bebarapa bulan yang lalu beliau resign dari tempat kerjanya.
Artinya hasilnya berjualan lebih besar dari gajinya selama
ini.
Di sebuah bus, ada pedagang asongan yang duduk beristirahat
sejenak setelah menjajakan dagangan berupa kacang oven, permen jahe, dan permen
tolak angin.
“Hasilnya besar ya mas, jualan kaya gini?”
“Alhamdulillah, mas… cukup buat makan. Sama bikin rumah di kampung.”
Dari Purwakarta, ada juga teman sekolah dulu berbagi
cerita.
Dulu dia orang yang sangat kuat prihatinnya. Sekolah hamper tidak pernah jajan. Bukan karena takut jajanannya tidak higienis,
tapi karena memang keuangannya terbatas.
Awal bekerja dia ‘nyambi’ jualan. Jualan apa saja. Tempat jualannya pun fleksibel. Di tempat kerja, di atas bus atau kereta,
hingga ngelapak di pinggir jalan.
Suatu ketika dia kaget luar biasa, ketika keuntungan hasil
penjualannya dalam 1 hari melebihi gajinya dalam sebulan. Mulailah dia lebih serius menata ‘bisnis’
kecilnya. Dengan modal sekitar 12 juta
hasil patungan 3 orang, dia mengibarkan bendera untuk menjadi supplier
perusahaan-perusahaan.
Hasilnya ternyata luar biasa. Hingga akhirnya dia memutuskan keluar dari
pekerjaan, keluar dari usaha patungaannya, dan mengerek bendera sendiri sebagai
supplier dengan modal awal hamper 1 milyar.
Kalau bertemu pedagang yang lusuh, jangan tertipu dengan
penampilannya.
Kalau makan di pinggir jalan, cobalah untuk berbincang
sejenak dengan sang penjual.
Coba untuk membuka mata bahwa dunia ini sangat luas.
Dan rizki Allah pun begitu luas….
Label:
ibrah
|
komentar (0)