Kampanye. Buat saya adalah salah satu tahapan kehidupan bernegara yang masuk dalam kriteria ‘menyebalkan’. Terlalu banyak omong kosong di sana.
“Pilihlah saya!”
“Contreng no. X partai Y!”
“Partai kami menang, harga sembako turun!”
“Kami membawa solusi perbaikan pendidikan!”
“1 milyar untuk tiap desa bila kami menang!”
Bombastis sekali. Semua mengaku sebagai pahlawan yang siap memperbaiki bangsa. Rata-rata hanya menghembuskan angin surga tanpa ada program yang konkret.
Ketika ada sesuatu yang dianggap berhasil, semua main klaim sebagi pihak yang paling berjasa. Sebagi penggagas lah, sebagai pionir, penanggung jawab, pelaksana, hingga pengawas yang baik.
Dapat dipahami ketika seorang rekan setengah bercanda mengatakan,”Semua mengaku yang paling baik. MUI mewajibkan memilih calon yang baik, maka saya akan pilih semuanya.”
Saat kampanye pula anggota dewan dan pebisnis yang biasa sibuk dengan tender-tender besar bernilai sekian digit tiba-tiba masuk ke pasar tradisional. Pejabat yang hanya bisa ditemui dengan birokrasi bertingkat-tingkat pun tiba-tiba akrab dengan peluh tukang becak dan para kuli.
Ajaib.
Kemana mereka selama ini? Apakah caleg-caleg dengan mental seperti ini yang akan dipilih menjadi wakil di Senayan? Harusnya tidak. Masalahnya kita adalah bangsa yang pelupa. Jejak rekam buruk dalam fakta sejarah seringkali terhapus oleh janji-janji manis. Ditambah dengan sistem yang ada, jadilah kampanye menjadi komponen penting dalam tatanan berbangsa kita.
Untuk memilih calon yang kredibel harusnya tidak dilihat dari kampanyenya, tapi track record yang ada selama ini. Kalau pernah menjadi anggota dewan, kebijakan apa yang pernah diperjuangkan dan dihasilkannya? Seberapa besar anggota masyarakat yang ikut menikmati perannya selama duduk di kursi empuk? Seberapa sering beliau absen dalam sidang? Kalau pun turut dalam sidang apakah beliau menyuarakan aspirasi rakyat dengan segenap tenaga dan pikiran, atau lebih menikmati dinginnya AC?
Bagi calon yang belum pernah duduk menjadi anggota dewan pun harus dilihat apa yang telah dilakukannya selama ini? Jangan menjadikan alasan belum duduk di dewan sebagai hal yang menyebabkannya tidak bisa berbuat banyak di masyarakat.
Suatu hari saya menerima selebaran profil seorang caleg. Mengaku 13 tahun bekerja sebagai karyawan PT “T”. Slogannya,”Hanya Pekerja yang bisa menjiwai perjuangan Pekerja.”
Sekilas logis. Tapi bila ditelaah lebih jauh menjadi ironis. PT “T” terkenal sebagai perusahaan yang tidak stabil. Demo sering kali terjadi. Nasib karyawan terkatung-katung. Secara umum permasalahan karena rendahnya upah, status karyawan tidak jelas, hingga PHK sepihak dengan pesangon seadanya. Artinya untuk memperjuangkan rekan-rekannya saja beliau tidak mampu, kok berani-beraninya mencoba di level yang lebih tinggi?
Di lain hari terlihat jelas sebuah spanduk besar bertuliskan “… menciptakan Indonesia yang adil, makmur, dan demokrasi.”
Duh, caleg….
Apakah dulu di SMP tidak ada pelajaran membedakan kata sifat, kata kerja, atau kata benda? Niat baik saja tidak cukup. Kemampuan berbahasa mutlak diperlukan bagi anggota dewan yang mestinya akan saling melontarkan argumen dan bersinggungan dengan istilah-istilah perundangan.
Makanya banyak yang sinis dengan para caleg. Perjuangan untuk rakyat dianggap hanya kedok. Perjuangan yang sebenarnya hanya untuk diri sendiri dengan motif ekonomi dan kekuasaan. Indikasinya tentu saja biaya yang mesti dikeluarkan untuk menjadi caleg hingga akhirnya menjadi anggota legislatif.
Bagi yang tinggal di Cikarang tentu tahu baliho besar seorang caleg DPRD tk I di pertigaan pintu keluar tol Cikarang. Sebuah stasiun radio merilis biaya yang telah dikeluarkan caleg tersebut sebesar lebih dari 1 milyar rupiah! Itu jauh sebelum masa kampanye terbuka. Bayangkan biaya tambahan yang harus dikeluarkan pada kampanye terbuka.
Kalau untuk DPRD tk I saja nilainya begitu wah…, bagaimana untuk DPR Pusat? Cukup untuk membayar hutang negara barangkali, bila biaya kampanye semua caleg dari DPRD tk II hingga DPR Pusat dikumpulkan.
Selain pemborosan yang luar biasa, degradasi moral terasa dominan pada masa kampanye. Kampanye acap kali dijadikan ajang melakukan pelanggaran lalu lintas secara ‘legal’. Terlihat dengan mata telanjang betapa bangga para peserta kampanye ketika berhasil memenuhi ruas-ruas jalan dan menyebakan kemacetan panjang. Mereka lupa dengan para pengguna jalan lain yang juga punya hak untuk memanfaatkan jalan tersebut.
Moral para caleg pun setali tiga uang. Demi menarik massa segala cara dilakukan, termasuk menghadirkan penyanyi dengan goyangan erotis. Sebuah partai bahkan secara memalukan menghadirkan kasidah yang dilanjutkan dengan dangdut erotis.
Makanya lega rasanya ketika semua itu berakhir. Mulai hari ini kampanye terbuka selesai sudah. Sebagian partai mulai menurunkan atribut yang bertebaran di seluruh penjuru negeri ini. Hari-hari tenang menjelang, meski bukan jaminan partai menghentikan kampanye. Perasaan suudhan saya mengatakan kampanye masih akan tetap berlangsung meski dalam skala yang lebih kecil. Atau sembunyi-sembunyi mungkin, misalnya dengan bagi-bagi amlpop.
Pelanggaran? Menambah satu pelanggaran setelah sekian banyak pelanggaran bukanlah hal yang mengkhawatirkan. Toh selama ini Panwaslu hanya diam dan mencatat meski pelanggaran nyata-nyata ada di depan mata.
Cikarang, 6 April 2009